Apa Raga punya kesempatan?

Jari jemari panjang milik Raga ia angkat untuk melihat kelima jarinya yang terlihat baik-baik saja. Seluruh tubuhnya terasa sakit, namun ia bersyukur karena kedua tangannya tidak terlalu merasakan sakit. Raga bersyukur, ia masih bisa menggenggam sang Papa atau menghubungi Papanya.

Mata itu teralihkan ketika ia mendengar suara pintu yang terbuka. Raga melihat Jonathan yang memasuki ruangannya sembari membawa makanan. Baru melihatnya saja nafsu makan Raga sama sekali tidak ada.

“Badan jagoan masih sakit?” tanya Jonathan setelah ia menaruh makanan tersebut diatas meja. Jonathan lantas mendekati putranya. Mengusap rambut jagoannya dengan sangat lembut.

Tentu Raga menjawab dengan anggukan pelan. Punggungnya terasa sakit sakit hingga sulit untuk bergerak. “Raga gak apa-apa. Nanti Raga minum obat biar gak sakit lagi. Rasa sakitnya udah biasa Raga rasain.” ujar anak remaja itu dengan senyuman tipisnya.

Ia terlalu benci jika membuat Jonathan khawatir atau menangis karena kondisinya semakin hari kian memburuk. Sulit sekali untuk mendapatkan rasa tenang sehari saja.

“Yasudah. Raga makan ya? Papa yang suapin, oke? Kalau ngerasa mual langsung bilang sama Papa ya?”

Raga hanya dapat mengangguk. Terlalu sulit untuk menolak Jonathan. Alasannya, Raga terlalu enggan untuk melihat binar kesedihan Jonathan.

“Pa.” panggil Raga. Jonathan yang sedang mengatur kepala ranjang Raga lantas menoleh ke arah putra semata wayangnya. Menatap Raga dengan tatapan yang sangat lembut, seolah bertanya mengapa Raga memanggil dirinya.

“Raga beban Papa ya?” tanya lelaki itu.

Jonathan menghela nafas pelan setelah ia membenarkan posisi kepala ranjang Raga agar Raga dapat makan dengan nyaman. Ini adalah keseribu kalinya Raga bertanya tentang persoalan dirinya yang menjadi beban atau tidak. Dan sudah keseribut kalinya Jonathan menjawab.

“Kamu bukan beban, Raga. Sudah berapa kali Papa bilang? Kamu itu jagoan Papa, bukan beban Papa.”

“Hidup Raga cuman sakit. Rumah sakit, pulang, rumah sakit, pulang. Buang-buang uang Papa.” elak lelaki itu lagi.

Jonathan duduk pada kursi di samping ranjang Raga. Menatap Raga dengan tatapan lembut seperti biasanya.

“Kalau kamu terus berfikit negatif, gimana kamu mau sembuh, Raga? Perbanyak berfikir positif ya? Papa sayang kamu, kamu bukan beban Papa dan kamu itu kebahagiaan Papa. Kalau gak ada kamu, Papa berantakan, Raga.”

“Tapi, apa Raga punya kesempatan? Dunia udah renggut semua organ Raga.”

Jawaban dari Raga membuat Jonathan langsung terdiam. Jika di tanyakan Raga memiliki kesempatan atau tidak, tentu Jonathan tidak tahu. Semuanya terlalu abu-abu untuk Jonathan perkirakan. Bahkan, Jonathan selalu enggan untuk melanjutkan kehidupannya jika Raga benar-benar tidak memiliki kesempatan.

“Raga, makan ya? Biar punggungnya gak sakit lagi. Papa suapin.”

Pada akhirnya, Jonathan akan selalu mengalihkan pembicaraan.