Janggal.

Tiwai kembali kerumah dengan wajah yang tidak dapat diartikan. Alden, Atuy, Gio dan Langit sudah menunggu lelaki itu diruang tengah sejak dua jam yang lalu. Tidak ada kabar sama sekali hingga Tiwai pulang dengan wajah menunduk. Raut itu terlihat sedih, marah, khawatir dan kecewa tercampur menjadi satu.

Alden mendekati lelaki yang lebih tua darinya, menuntut penjelasan kepada Tiwai yang sebelumnya izin untuk mencari Juan dan Dika yang tak kembali hingga larut malam. “Bang, gimana? Lo nemuin mereka?”

Tiwai tidak langsung menjawab pertanyaannya tersebut. Lelaki itu menarik nafas dengan sangat berat, berusaha merangkai kata supaya tidak membuat ricuh keadaan yang menegangkan.

“Gue... gue ketemu Dika. Waktu gue cari dia ke kampusnya, satpam nemuin dia gantung diri di ruang kosong yang ada di jurusannya. Dan Juan, gue nemuin dia ditempat kerjanya tapi perutnya bolong kayak bekas tembakan. Mereka udah dibawa kerumah sakit buat di autopsi.” ujar Tiwai.

Tak ada jawaban dari mereka. Terkejut adalah rasa yang mereka rasakan pertama kalinya setelah mendengar pernyataan dari Tiwai.

Ketika Gio sedang mencerna ucapan Tiwai, tiba-tiba saja sebuah pukulan mendarat dengan keras di rahang kanannya. Ia langsung terjatuh ke lantai, tidak siap menerima hantaman yang kuat karena otaknya sedang bekerja untuk memahami banyaknya kalimat.

“Gara-gara overthinking lo anjing! Harusnya lo gak usah mikir yang macem-macem! Pikiran jelek lo bisa jadi doa, bangsat!”

“Bang! Udah!” Langit berusaha menarik Atuy untuk menjauh dari Gio yang sudah terkapar di lantai. Nafas Atuy terlihat sangat memburu, emosinya memuncak dengan begitu cepat.

Tidak mau mengalah, Gio berdiri dari posisi jatuhnya. Menarik kerah baju Atuy dengan sangat kuat hingga leher lelaki itu sedikit tercekik dan sulit untuk bernapas.

“Gue khawatir karena gue punya alasan! Lo masih gak sadar?! Sadar, bang! Ada yang aneh disini harusnya lo sadar!”

“Gi! Udah! Ribut gak nyelesain masalah.” Tiwai dan Alden berusaha menarik Gio untuk melepaskan cengkraman pada kerah baju Yuta. “Gi! Lepasin!” Langit menatap tajam Gio yang semangat mencengkram, tidak ada tanda-tanda bahwa Gio akan melepaskan cengkraman tersebut.

“Anggota kita meninggal setiap liat bercak darah! Kenapa lo gak bisa paham sama rasa khawatir gue, anjing?!”

Jleb-!

Baru saja Gio ingin memukul Atuy kembali, lelaki itu dikejutkan dengan dua panah yang berhasil menancap dada kedua lelaki yang sudah ia anggap abang kandungnya sendiri. Gio reflek melepaskan cengkraman pada kerah bajunya, Atuy langsung terduduk disamping Tiwai yang dadanya sudah bersimbah darah dan tertancap oleh panah yang entah dari mana asalnya.

Gio masih mematung di tempatnya, matanya masih mencerna Langit dan Alden yang sedang membantu Atuy dan Tiwai bertahan. Mulutnya masih membungkam, pening langsung dirasa di kepalanya ketika ia melihat kejadian buruk secara langsung.

“Gi, ikut kita kerumah sakit. Ayo.”

Langit membantu Atuy untuk berjalan menuju ke mobil yang terparkir pada garasi. Membawa Atuy di Tiwai kerumah sakit terdekat untuk menyelamatkan mereka berdua.

Gio melihat sekitarnya, ia ikut melangkah keluar dengan perlahan sembari mencari sumber arah panah tersebut. Matanya tiba-tiba saja terfokus pada kaca jendela yang terlihat bolong pada dua sisi saja, sesuai arah panah yang berhasil membuat kedua abangnya tumbang.

Kejadian hari ini membuat Gio semakin yakin jika ada yang tidak beres dirumah barunya. Dan Gio semakin yakin, jika semua kejadian ini bukan hanya kebetulan atau semua takdir. Ia yakin jika ada dalang dari balik semua ini.