Kakdoyiiee

Cilla berhenti pada sebuah rumah besar yang gerbangnya tertutup dengan sangat rapat. Rumah tersebut sangat sepi, seperti tidak berpenghuni. Padahal Cilla sudah datang ke alamat yang benar.

Cilla tersentak ketika merasakan sebuah tepukan pada bahunya, gadis itu menoleh kebelakang, menatap kesal Carlos yang ternyata berada diluar dengan kantong plastik putih yang berisikan beberapa belanjaan. “Lo ngagetin saja sih!” kesal Cilla.

Carlos tidak menjawab apapun. Dengan sedikit kasar, lelaki itu menarik Cilla masuk kedalam rumahnya dan mendorong Cilla begitu saja hingga gadis tersebut jatuh ke lantai dengan cukup keras. Cilla meringis, merasakan perih pada telapak tangannya karena harus menahan badannya sendiri agar tidak langsung terbentur ke lantai.

“Aw! Lo apa-apaan sih, Car?!” Cilla menoleh pada lelaki yang berdiri dihadapannya, menatap gadis itu dengan tatapan yang sangat tajam membuat Cilla merasa takut dengan perubahan sikap Carlos yang sangat menyeramkan. Baru saja gadis itu ingin berdiri, namun tangan Carlos lebih dulu menekan kedua rahang Cilla hingga gadis itu tidak dapat berbicara dengan jelas.

“Lo mau nyoba jadi pahlawan kesiangan buat Senaru?” tanya Carlos, intonasinya merendah tapi sangat menakutkan untuk di dengar. “Jangan banyak gaya mau nolongin Senaru buat buktiin kalo dia gak salah!” Carlos menghempaskan kepala Cilla dengan cukup kuat.

Tak ada perlawanan apapun dari gadis itu. Cilla hanya terdiam dengan tubuh yang sedikit bergetar karena ketakutan yang ia rasakan.

“Car, lo temennya kan? Harusnya lo bantu William supaya gak marah sama Senaru! Dia bukan pelakunya!”

“Bantu? Buat apa gue bantu? Buat masuk ke perangkap sendiri? Jangan mimpi!”

Gadis itu terdiam ketika Carlos menyebutkan beberapa kata mencurigakan didalam kalimatnya. Perangkap sendiri? Apakah Carlos yang melakukan itu semua?

“Lo... lo yang jebak Senaru kan?!” tanya Cilla dengan sangat lantang. Tawa keras yang menjadi jawaban membuat gadis itu menatap kebingungan. Carlos, lelaki itu mendekat hingga mereka tidak memiliki jarak untuk bernafas dengan bebas.

“Kalo iya, emang kenapa? Lo mau lapor polisi? Emang ada bukti? Hah?!” Cilla tersentak saat tangan Carlos menjambak rambutnya dengan cukup keras hingga gadis itu mendongak. “Gue punya alasan kenapa gue lakuin itu semua! Lo jangan jadi sok pahlawan lagi atau gue bakalan lakuin lebih dari ini supaya lo tutup mulut?!” Bentak Carlos dengan keras. Lelaki itu melepaskan jambakannya, menjauh dari Cilla yang sudah terlihat sangat berantakan sekarang.

“Keluar, sebelum gue lakuin hal lebih ke lo.”

Terik matahari pada jam 10 pagi mengharuskan ibu dua anak tersebut dan satu anak bungsunya untuk meneduh pada lobby rumah sakit. Orelyn tidak ikut bersama Haekal yang sedang menjemput Kaira pada ruangannya, gadis itu lebih memilih untuk menunggu sembari menemani Ely yang sangat asyik memakan eskrim vanilla yang dibelikan oleh Haekal.

Orelyn tersenyum tipis ketika melihat anak perempuannya yang sangat ceria setiap memasukan sesuap eskrim kedalam mulutnya. “Enak, sayang?” tanya perempuan itu sembari membersihkan mulut anaknya. Ely mengangguk antusias, bocah itu semakin bersemangat ketika melihat sang Papa yang berjalan sembari mendorong kursi roda seorang perempuan.

“Papa!”

Haekal langsung tersenyum ketika disambut dengan hangat oleh putri kecilnya. Ia mendorong kursi roda Kaira untuk mendekat dengan Orelyn, lelaki itu langsung mengacak rambut Ely dengan sangat gemasnya. “Papa lama ya? Maaf ya? Sekarang kita ke mobil, terus anter tante Kaira dulu. Habis itu kita pulang, oke?” ujar Haekal dengan senyuman yang sangat lebar.

Tentu tanpa berpikir dua kali Ely langsung mengangguk dengan sangat bersemangat. Mengucapkan kata 'mau' dengan aksen khas anak kecil yang masih sangat melekat pada bocah berusia tiga tahun itu.

Haekal langsung mendorong kembali kursi roda Kaira, membawa gadis itu ke mobil yang terparkir sedikit berantakan di depan lobby.

“Kal, angkatnya pelan-pelan ya. Kaki gue ngilu banget.” ujar Kaira.

Orelyn langsung menahan tangan Haekal ketika lelaki itu ingin menggendong Kaira, menatap Haekal dengan sebuah gelengan kecil sebagai isyarat untuk Haekal. “Biar aku aja yang bantu Kaira masuk mobil, kamu pegangin Ely aja.” Orelyn langsung memindahkan Ely pada gendongan Haekal.

Baru saja Orelyn menyentuh lengan Kaira, gadis itu langsung menjauhkan tangan Orelyn dengan sedikit kasar. “Bukannya gue gak mau, tapi gue tau lo pasti gak kuat. Jadi, biar Haekal aja ya? Kalau jatuh dan kaki gue makin parah emang lo mau tanggung jawab?”

Kaira berucap sembari tersenyum tipis untuk menutupi rasa kesalnya karena Orelyn berusaha untuk tidak membiarkan Haekal menggendongnya.

“Udah udah, yang dibilang sama Kaira bener kok. Kamu gendong Ely aja ya? Biar aku yang bantu Kaira masuk ke mobil.” Haekal berujar dengan sangat lembut, lelaki itu mengembalikan Ely pada gendongan istrinya. Walaupun Haekal tidak berujar dengan kasar, tetap saja Orelyn sangat kesal mendengarnya.

Orelyn memilih untuk masuk kedalam mobil terlebih dahulu. Tidak ingin melihat Haekal yang menggendong Kaira untuk mempermudah gadis itu masuk kedalam mobil suaminya.

“Makasih, Kal.” ujar Kaira yang dapat didengar oleh Orelyn. Emosinya semakin meluap, namun masih bisa ia pertahankan agar tidak meledak saat itu juga.

Tanpa butuh waktu yang lama, Haekal sudah duduk di kursi kemudi, tepat disebelah Orelyn yang sedang memangku Ely. Mobil itu langsung melaju dengan kecepatan yang sedang, melewati jalanan Jakarta yang nampak tidak begitu padat karena sudah memasuki jam kerja.

Kaira yang duduk dibelakang pasutri tersebut sedang memutar otaknya. Memikirkan bagaimana cara supaya mobil tersebut tidak terasa tenang.

“Eh, Rel. Lo semalem ketemu Jean ya? Dia ngapain? Bukannya lo sama dia udah musuhan?” perhatian Haekal langsung teralihkan ketika Kaira bertanya perihal Jean yang menemui Orelyn.

Pria itu menoleh kearah istrinya dengan sejenak, menatap Orelyn dengan tatapan yang meminta sebuah penjelasan. Namun, Orelyn tidak langsung menjelaskan perihal pertemuannya dengan Jean. “Lo tau dari mana?”

“Semalem gue video call sama Airen, terus gak sengaja nyorot lo sama Jean. Berarti bener ya itu lo?” tanya Kaira sekali lagi.

Orelyn menatap wajah Haekal yang sudah berubah datar, terlihat jika pria yang ada di sebelahnya sedang menahan amarah.

“Aku cuman minta tolong sama dia, Kal.”

“Kamu bisa minta tolong sama aku, Rel.” jawab Haekal dengan cepat. Nafasnya sedikit tertahan guna menahan emosi yang hampir saja memuncak.

“Kal, kamu lupa? Semalem aku suruh kamu pulang aja kamu ketiduran. Gimana aku mau minta tolong kamu?”

“Jemian atau Reon ada kan? Istri mereka juga ada, kan?”

“Mereka sibuk, Haekal. Kenapa sih? Kamu seneng aku kerepotan ngurus anak-anak sendirian?”

“Gak usah punya anak kalau kamu ngerasa kerepotan.”

Kalimat yang baru saja Haekal lontarkan membuat Orelyn langsung bungkam dan tidak bisa membalas lagi. Hatinya sangat sakit ketika Haekal mengucapkan kalimat sarkas tersebut tanpa memikirkan perasaannya. Bahkan matanya terasa panas ketika ia kembali mengingat ucapan Haekal beberapa detik yang lalu.

Orelyn langsung mengalihkan pandangannya, perempuan itu mengeratkan pelukannya kepada Ely dan berharap Ely tidak mengingat ucapan Haekal yang sangat menyakitkan.

Tidak ada lagi obrolan diantara mereka bertiga. Orelyn sibuk melamun dengan dada yang terasa sesak, Haekal yang terdiam karena sedang merutuki kebodohannya, dan Kaira yang menatap kedua pasangan tersebut dengan tatapan yang sangat puas.

Kali ini, Kaira telah berhasil menghasilkan sebuah kerenggangan pada hubungan Orelyn dan Haekal.

Tiwai kembali kerumah dengan wajah yang tidak dapat diartikan. Alden, Atuy, Gio dan Langit sudah menunggu lelaki itu diruang tengah sejak dua jam yang lalu. Tidak ada kabar sama sekali hingga Tiwai pulang dengan wajah menunduk. Raut itu terlihat sedih, marah, khawatir dan kecewa tercampur menjadi satu.

Alden mendekati lelaki yang lebih tua darinya, menuntut penjelasan kepada Tiwai yang sebelumnya izin untuk mencari Juan dan Dika yang tak kembali hingga larut malam. “Bang, gimana? Lo nemuin mereka?”

Tiwai tidak langsung menjawab pertanyaannya tersebut. Lelaki itu menarik nafas dengan sangat berat, berusaha merangkai kata supaya tidak membuat ricuh keadaan yang menegangkan.

“Gue... gue ketemu Dika. Waktu gue cari dia ke kampusnya, satpam nemuin dia gantung diri di ruang kosong yang ada di jurusannya. Dan Juan, gue nemuin dia ditempat kerjanya tapi perutnya bolong kayak bekas tembakan. Mereka udah dibawa kerumah sakit buat di autopsi.” ujar Tiwai.

Tak ada jawaban dari mereka. Terkejut adalah rasa yang mereka rasakan pertama kalinya setelah mendengar pernyataan dari Tiwai.

Ketika Gio sedang mencerna ucapan Tiwai, tiba-tiba saja sebuah pukulan mendarat dengan keras di rahang kanannya. Ia langsung terjatuh ke lantai, tidak siap menerima hantaman yang kuat karena otaknya sedang bekerja untuk memahami banyaknya kalimat.

“Gara-gara overthinking lo anjing! Harusnya lo gak usah mikir yang macem-macem! Pikiran jelek lo bisa jadi doa, bangsat!”

“Bang! Udah!” Langit berusaha menarik Atuy untuk menjauh dari Gio yang sudah terkapar di lantai. Nafas Atuy terlihat sangat memburu, emosinya memuncak dengan begitu cepat.

Tidak mau mengalah, Gio berdiri dari posisi jatuhnya. Menarik kerah baju Atuy dengan sangat kuat hingga leher lelaki itu sedikit tercekik dan sulit untuk bernapas.

“Gue khawatir karena gue punya alasan! Lo masih gak sadar?! Sadar, bang! Ada yang aneh disini harusnya lo sadar!”

“Gi! Udah! Ribut gak nyelesain masalah.” Tiwai dan Alden berusaha menarik Gio untuk melepaskan cengkraman pada kerah baju Yuta. “Gi! Lepasin!” Langit menatap tajam Gio yang semangat mencengkram, tidak ada tanda-tanda bahwa Gio akan melepaskan cengkraman tersebut.

“Anggota kita meninggal setiap liat bercak darah! Kenapa lo gak bisa paham sama rasa khawatir gue, anjing?!”

Jleb-!

Baru saja Gio ingin memukul Atuy kembali, lelaki itu dikejutkan dengan dua panah yang berhasil menancap dada kedua lelaki yang sudah ia anggap abang kandungnya sendiri. Gio reflek melepaskan cengkraman pada kerah bajunya, Atuy langsung terduduk disamping Tiwai yang dadanya sudah bersimbah darah dan tertancap oleh panah yang entah dari mana asalnya.

Gio masih mematung di tempatnya, matanya masih mencerna Langit dan Alden yang sedang membantu Atuy dan Tiwai bertahan. Mulutnya masih membungkam, pening langsung dirasa di kepalanya ketika ia melihat kejadian buruk secara langsung.

“Gi, ikut kita kerumah sakit. Ayo.”

Langit membantu Atuy untuk berjalan menuju ke mobil yang terparkir pada garasi. Membawa Atuy di Tiwai kerumah sakit terdekat untuk menyelamatkan mereka berdua.

Gio melihat sekitarnya, ia ikut melangkah keluar dengan perlahan sembari mencari sumber arah panah tersebut. Matanya tiba-tiba saja terfokus pada kaca jendela yang terlihat bolong pada dua sisi saja, sesuai arah panah yang berhasil membuat kedua abangnya tumbang.

Kejadian hari ini membuat Gio semakin yakin jika ada yang tidak beres dirumah barunya. Dan Gio semakin yakin, jika semua kejadian ini bukan hanya kebetulan atau semua takdir. Ia yakin jika ada dalang dari balik semua ini.

Air bening yang berada didalam gelas yang sedang dipegang oleh Haekal sama sekali tidak tersentuh oleh bibir tersebut. Niat untuk minum ia urungkan ketika Haekal menerima sebuah notif dari istrinya yang meminta dirinya untuk kembali kerumah, lantaran kedua anaknya rindu kepada sang Papa.

Sebenarnya Haekal ingin sekali kembali kerumah, namun ia yakin banyak sekali mata-mata yang menjaga gerak geriknya hingga membuat Haekal sedikit tidak nyaman. Mata-mata itu ada hanya untuk beberapa hari sampai Kaira boleh kembali kerumahnya. Jika Kaira sudah pulang, maka Haekal tidak perlu menjaganya selama 24 jam dan tidak perlu diawasi oleh pihak kepolisian.

“Kal, kenapa?” pertanyaan dari Kaira membuat Haekal sedikit tersentak hingga air putih tersebut menunjukan sebuah getaran. Haekal menoleh kearah Kaira, menatap gadis yang sedang duduk diatas ranjang dengan tatapan yang sangat dingin dan tajam.

“Gak apa-apa.”

“Lo yakin? Tapi lo murung terus, Kal.”

“Gue gak murung.”

“Kal, gue kenal lo. Kalo lo narik nafas berat berkali-kali, berarti lo lagi stress. Kita udah kenal lama, Kal.”

Ah, sial. Haekal melupakan satu fakta jika Kaira adalah Ira. Gadis culun yang sempat Haekal dekati guna untuk melupakan Orelyn yang saat itu sedang berpacaran dengan kakak kelasnya.

“Kenal lama belum tentu lo tau semua tentang gue, Kai.” lelaki itu tetap mengelak untuk menjawab pertanyaan Kaira. Berusaha memberhentikan obrolan dengan mulut pedasnya dan berharap Kaira akan terbungkam dan tidak berbicara lagi untuk yang kesekian kalinya.

“Kal, sini deh.” panggil Kaira sembari menggerakan tangannya untuk memanggil Haekal. Lelaki itu sama sekali tidak berdiri, malah matanya menatap Kaira dengan tatapan yang sangat membingungkan. “Sini, sebentar aja.” panggil gadis itu lagi.

Pada akhirnya Haekal menuruti permintaan Kaira. Ia berdiri untuk mendekat dengan Kaira dan memilih duduk di kursi yang telah tersedia didekat ranjang gadis itu. Saat matanya sedang menunduk kebawah, sebuah usapan lembut terasa dipucuk kepalanya. Haekal membulatkan mata, tubuhnya mematung karena merasakan sebuah desiran pada darah yang ada di tubuhnya.

Seperti sebuah sengatan tiba-tiba. Haekal tidak bisa melakukan apapun sehingga ia terkesan menerima usapan tersebut.

“Kalo ada masalah cerita aja, Kal. Gue disini bakalan dengerin lo as a friend. Lo gak perlu takut gue goda lo atau gimana, karena gue gak mau di cap pelakor sama semua orang. Gue cuman mau dengerin lo dan kasih saran buat lo, udah itu aja.” ujarnya.

Haekal sama sekali tidak menjawab, lelaki itu menidurkan kepalanya disamping Kaira dan memilih untuk memejamkan mata. Sudah lama ia tidak merasakan sebuah usapan. Sudah lama ia tidak mendengar seseorang yang suka rela akan menjadi tempat ceritanya. Sekarang, semuanya terlalu sibuk dengan urusan dunia. Bahkan, Orelyn sudah sangat jarang untuk menenangkannya disaat ia sepulang kerja.

Rasa yang sejak lama tidak pernah ia rasakan sekarang kembali hadir dengan suasana yang berbeda. Bukan dengan Orelyn ataupun teman-temannya. Haekal merasakannya dengan perempuan lain, perempuan yang telah menjadi partner kerjanya sekarang.

Mungkin banyak orang akan melihat jika Haekal telah berkhianat kepada Orelyn. Namun, nyatanya Haekal hanya menganggap Kaira sebagai teman biasa. Haekal butuh seseorang untuk bisa menjadi tempat melepas keluhnya. Jika Orelyn tidak bisa, ia boleh kan mencari orang lain untuk melepas lelahnya?

Makanan sisa yang telah di makan untuk sarapan kedua anaknya terlihat sudah dingin dan tidak enak jika di konsumsi sebelum di hangatkan. Orelyn memperhatikan nasi goreng serta susu yang masih tersisa. Biasanya pagi hari Haekal akan ikut sarapan bersamanya, dan Haekal akan menghabiskan semua makanan yang Orelyn sediakan.

Lelaki itu tidak terlalu suka jika Orelyn membuat makanan namun tidak ada yang menghabiskan.

Kali ini suasana rumah itu terasa sangat berbeda. Walaupun Haekal selalu meninggalkan pukul 8 pagi, namun kali ini Orelyn merasakan kesepian yang luar biasa. Sejak semalam perempuan itu sangat sibuk mengurus kedua anaknya. Mengecek Rekal yang sudah tertidur atau belum, maupun Ely yang sering sekali terbangun.

Lelah? Tentu saja. Terlebih lagi ketika ia memasuki kamar pribadinya dengan Haekal. Terasa sangat kosong dan tidak bersuasana. Baru sehari saja ditinggalkan, Orelyn sudah kesepian. Jika Haekal meninggalkan dengan alasan pekerjaan keluar kota, tentu Orelyn tidak masalah. Namun, alasan kali ini membuat dirinya cemas. Tentang Haekal yang harus bertanggung jawab kepada Kaira.

“Papa!” teriakan dari Ely yang berada diruang tengah berhasil mengalihkan perhatian Orelyn. Ia menoleh kearah pintu utama, Haekal telah pulang dengan kemeja kusut dan rambut yang sangat berantakan. Orelyn yakin, suaminya sangat lelah karena kejadian semalam.

“Hai anak Papa. Ely udah sarapan belum?” tanya Haekal ketika ia memeluk Ely dengan sangat lembut. “Udah! Ely mam loti!” jawab Ely, nada cadel itu membuat Haekal sangat gemas dengan putri kesayangannya. Mencubit pipi Ely karena tidak tahan dengan kegemasan anak bungsunya.

Kini, mata lelaki itu teralihkan untuk melihat Orelyn yang sudah berdiri dihadapannya. Dengan celemek dan juga rambut yang di kuncir dengan asal. Wajahnya terlihat lelah, namun istrinya tetap berusaha tersenyum untuk menyambut kepulangannya kerumah.

“Kamu udah makan, Kal?” tanya Orelyn. Haekal mengangguk, lelaki itu tersenyum tipis dan mengacak rambut Orelyn dengan sedikit gemas.

“Aku mandi dulu ya, tapi aku gak bisa dirumah lama-lama. Aku harus balik kerumah sakit.”

“Kal, gak bisa dibiarin aja?”

Senyuman tipis itu terbit di bibir Haekal, ia tidak menjawab apapun dan Orelyn dapat paham dengan isyarat tersebut. Wajah yang sebelumnya tersenyum itu langsung berubah murung, untuk pertama kalinya Haekal menolak permintaan Orelyn agar tidak menemui perempuan lain. Rasa cemas yang berada dilubuk hatinya semakin terasa ketika Haekal pergi ke kamarnya tanpa ada satu kata pun yang dikeluarkan.

Orelyn langsung menggendong Ely ketika putrinya ingin menyusul Haekal ke kamar. Ia tidak ingin emosi Haekal terpancing karena kebawelan yang Ely keluarkan. Bagaimana pun Haekal juga manusia, emosi akan gampang meluap ketika sedang kelelahan.

Dan Haekal seperti pada manusia umumnya, ia bisa mengingkari janjinya tanpa sengaja ataupun di sengaja.

Derap langkah kaki dari seorang lelaki memasuki ruangan yang hanya ditempatkan oleh satu orang gadis yang sedang terbaring diatas brankar. Kedua kakinya terlihat di perban, begitu juga dengan keningnya yang di perban pada satu sisi saja. Haekal semakin mendekat dengan gadis yang masih terlelap hingga sekarang. Entah pengaruh obat bius ataupun belum terbangun sejak kecelakaan satu jam yang lalu.

Haekal berfikir hari ini adalah hari tersial untuknya. Jika ia hanya di mintai keterangan, tentu Haekal tidak masalah. Namun, lelaki itu harus bertanggung jawab karena menolak Kaira yang meminta bantuan. Haekal harus menemani Kaira hingga Kaira sembuh total.

Mata Haekal teralihkan ketika melihat Kaira yang melenguh pelan, lelaki itu langsung menjauh, ia memilih duduk di sofa dan tidak berdekatan dengan Kaira yang sudah terbangun sekarang.

“Haekal?” panggil gadis itu ketika melihat Haekal yang sedang duduk di sofa. Haekal tidak menjawab, ia hanya menaikan sebelah alisnya tanpa memberikan wajah ramah seperti biasanya. “Kok lo disini?”

“Awak media bawa-bawa nama gue. Gue di panggil polisi gara-gara gue gak nolongin lo, sekarang gue disiruh tanggung jawab.” ujar lelaki itu dengan singkat, padat dan sangat ketus di telinga Kaira.

“Oh, yaudah. Gue lanjut tidur ya. kalo lo mau pulang, pulang aja. Takut istri lo nunggu.”

“Gue gak boleh balik sama polisi. Disuruh nemenin lo sampe besok.”

Kaira menahan senyumannya ketika mendengar penjelasan dari Haekal. Gadis itu mengangguk pelan, ia kembali memejamkan matanya dengan selimut yang menutupi seluru badannya, bahkan wajah gadis itu tertutupi oleh kain penghangat.

Untuk kali ini Kaira beruntung, ia berhasil membuat Haekal berada didekatnya. Membuat Haekal tidak bisa kembali pulang kerumah keluarga kecilnya dengan alasan untuk menemani dirinya. Hari ini telah menjadi hari keberuntungan Kaira. Ini bisa ia jadikan kesempatan untuk mengambil hati Haekal kan?

Derap langkah kaki dari seorang lelaki memasuki ruangan yang hanya ditempatkan oleh satu orang gadis yang sedang terbaring diatas brankar. Kedua kakinya terlihat di perban, begitu juga dengan keningnya yang di perban pada satu sisi saja. Haekal semakin mendekat dengan gadis yang masih terlelap hingga sekarang. Entah pengaruh obat bius ataupun belum terbangun sejak kecelakaan satu jam yang lalu.

Haekal berfikir hari ini adalah hari tersial untuknya. Jika ia hanya di mintai keterangan, tentu Haekal tidak masalah. Namun, lelaki itu harus bertanggung jawab karena menolak Kaira yang meminta bantuan. Haekal harus menemani Kaira hingga Kaira sembuh total.

Mata Haekal teralihkan ketika melihat Kaira yang melenguh pelan, lelaki itu langsung menjauh, ia memilih duduk di sofa dan tidak berdekatan dengan Kaira yang sudah terbangun sekarang.

“Haekal?” panggil gadis itu ketika melihat Haekal yang sedang duduk di sofa. Haekal tidak menjawab, ia hanya menaikan sebelah alisnya tanpa memberikan wajah ramah seperti biasanya. “Kok lo disini?”

“Awak media bawa-bawa nama gue. Gue di panggil polisi gara-gara gue gak nolongin lo, sekarang gue disiruh tanggung jawab.” ujar lelaki itu dengan singkat, padat dan sangat ketus di telinga Kaira.

“Oh, yaudah. Gue lanjut tidur ya. kalo lo mau pulang, pulang aja. Takut istri lo nunggu.”

*“Gue gak boleh balik sama polisi. Disuruh nemenin lo sampe besok.”

Kaira menahan senyumannya ketika mendengar penjelasan dari Haekal. Gadis itu mengangguk pelan, ia kembali memejamkan matanya dengan selimut yang menutupi seluru badannya, bahkan wajah gadis itu tertutupi oleh kain penghangat.

Untuk kali ini Kaira beruntung, ia berhasil membuat Haekal berada didekatnya. Membuat Haekal tidak bisa kembali pulang kerumah keluarga kecilnya dengan alasan untuk menemani dirinya. Hari ini telah menjadi hari keberuntungan Kaira. Ini bisa ia jadikan kesempatan untuk mengambil hati Haekal kan?

Derap langkah kaki dari seorang lelaki memasuki ruangan yang hanya ditempatkan oleh satu orang gadis yang sedang terbaring diatas brankar. Kedua kakinya terlihat di perban, begitu juga dengan keningnya yang di perban pada satu sisi saja. Haekal semakin mendekat dengan gadis yang masih terlelap hingga sekarang. Entah pengaruh obat bius ataupun belum terbangun sejak kecelakaan satu jam yang lalu.

Haekal berfikir hari ini adalah hari tersial untuknya. Jika ia hanya di mintai keterangan, tentu Haekal tidak masalah. Namun, lelaki itu harus bertanggung jawab karena menolak Kaira yang meminta bantuan. Haekal harus menemani Kaira hingga Kaira sembuh total.

Mata Haekal teralihkan ketika melihat Kaira yang melenguh pelan, lelaki itu langsung menjauh, ia memilih duduk di sofa dan tidak berdekatan dengan Kaira yang sudah terbangun sekarang.

“Haekal?” panggil gadis itu ketika melihat Haekal yang sedang duduk di sofa. Haekal tidak menjawab, ia hanya menaikan sebelah alisnya tanpa memberikan wajah ramah seperti biasanya. “Kok lo disini?”

“Awak media bawa-bawa nama gue. Gue di panggil polisi gara-gara gue gak nolongin lo, sekarang gue disiruh tanggung jawab.” ujar lelaki itu dengan singkat, padat dan sangat ketus di telinga Kaira.

“Oh, yaudah. Gue lanjut tidur ya. kalo lo mau pulang, pulang aja. Takut istri lo nunggu.”

*“Gue gak boleh balik sama polisi. Disuruh nemenin lo sampe besok.”

Kaira menahan senyumannya ketika mendengar penjelasan dari Haekal. Gadis itu mengangguk pelan, ia kembali memejamkan matanya dengan selimut yang menutupi seluru badannya, bahkan wajah gadis itu tertutupi oleh kain penghangat.

Untuk kali ini Kaira beruntung, ia berhasil membuat Haekal berada didekatnya. Membuat Haekal tidak bisa kembali pulang kerumah keluarga kecilnya dengan alasan untuk menemani dirinya. Hari ini telah menjadi hari keberuntungan Kaira. Ini bisa ia jadikan kesempatan untuk mengambil hati Haekal kan?

“Siapa yang sebarin video itu ke bokap gue?”

Carlos dan Senaru yang baru saja datang langsung disambut dengan satu pertanyaan yang membuat Senaru menatap bingung. Lelaki itu langsung mendekati temannya, menatap wajah William yang sangat amat berantakan sekarang. “Wil, ada apa?”

“SIAPA YANG KIRIM VIDEO ITU KE BOKAP GUE BRENGSEK?!” emosi William langsung pecah karena tidak sudah dengan pertanyaan-pertanyaan yang menurutnya sangat membuang-buang waktu sekarang.

“Yang nyimpen video itu cuman gue sama Carlos. Dan kita berdua gak ada yang kirim ke bokap lo, Wil. Kita gak sejahat itu.” ujar Senaru berusaha menenangkan.

Nafas William berubah memburu sekarang. Antara sesak dan emosi yang meluap, bercampur menjadi satu hingga lelaki itu sulit membedakan.

“Kalau bukan lo berdua, siapa? SIAPA HAH?! ORANG LAIN?! JUJUR SAMA GUE ANJING!”

“Yang punya videonya cuman Senaru, Wil.” saut Carlos membuat kedua lelaki itu menoleh.

“Gue ngg-”

“Satu minggu yang lalu gue baru ganti hp, dan semua data yang ada di hp lama gak gue pindahin ke hp yang baru. Lo bisa cek aja hp gue yang sekarang. Gak ada berkas-berkas lama yang gue pindahin kecuali tugas-tugas penting. Dan kemungkinan besar yang kasih video itu...” Carlos melirik kearah Senaru dengan perlahan, diikuti oleh William yang ikut melirik kearah Senaru yang berada disebelahnya.

“Demi Tuhan gue gak lakuin itu. Lo jangan fitnah gue dong, Car! Gue sama sekali gak kirim video itu ke bokap William! Ada bukti gak?!”

“Gak ada. Tapi lo satu-satunya yang pegang bukti itu sampai saat ini.” jawab Carlos membuat emosi Senaru langsung meluap.

Baru saja Senaru ingin menghajar Carlos, William lebih dulu memukul Senaru hingga lelaki itu terjatuh dan membentu lantai dengan keras.

“ANJING LO! GUE UDAH PERCAYA SAMA LO BANGSAT! LO PUNYA DENDAM APA SAMA GUE?! LO UDAH BUNUH BOKAP GUE BRENGSEK!” William terus memukul pipi dan rahang Senaru tanpa memberikan jeda untuk Senaru bernapas. William kalut, lelaki itu terlalu hancur untuk bersabar. William terlalu marah untuk memaafkan.

Pukulan itu terhenti ketika William merasa sesak didadanya. Terasa sakit yang perlahan menjalar ke kepalanya. Pening, lelaki itu sampai lupa jika harus mengontrol emosi atau ia akan drop dan kembali dirawat.

“Wil, udah. Ketempat lain aja ya? Ayo.” Carlos memegangi William dengan perlahan. Menuntun William untuk pergi dari lorong yang terdapat ruang jenazah di depannya. Meninggalkan Senaru yang masih terbaring di lantai, tidak dapat bangun karena merasakan pening yang luar biasa akibat tonjokan dan benturan yang dilakukan oleh William.

Rintikan hujan yang turun membuat dua insan tersebut dengan terpaksa bertepi untuk meneduh. Siapa sangka malam yang lelaki itu kira akan menjadi malam yang sangat indah berubah suram karena awan yang mulai menangis pada malam hari. Bukannya bersenang-senang tetapi lelaki itu malah melihat gadis yang ada disebelahnya menggigil karena kedinginan.

William melepaskan jaketnya yang ia pakai untuk menyampirkan jaket tersebut pada gadis yang ada disebelahnya. Matanya kembali terfokus pada motor yang mulai basah karena hujan yang turun dengan sangat derasnya.

“Lo ngapain kasih jaketnya ke gue?”

“Biar kamu gak kedinginan. Maaf, saya gak tau kalau misalkan hari ini bakalan hujan.”

Cilla tersenyum tipis ketika mendengar penuturan dari William. Tangan gadis itu terangkat untuk membenarkan rambut William yang sedikit berantakan. Mengusap sebentar rambut lelaki itu lalu kembali menurunkan lengannya.

Dengan cepat William langsung menggenggam tangan Cilla sebelum lengan gadis itu benar-benar turun dan berada disamping badannya. Tindakan tiba-tiba yang diberikan oleh William benar-benar membuat Cilla terkejut. Mata gadis itu membulat ketika punggung tangannya dicium oleh lelaki yang berada di sampingnya.

“Maaf belum bisa beri kamu kepastian. Nanti ya? Setelah saya selesai dengan urusan saya. Saya gak mau kamu keseret kalau saya kasih kamu kepastian sekarang.”