Kakdoyiiee

Udara dingin yang berada didalam ruangan William membuat lelaki itu merapatkan selimutnya. Tangan kanan yang tak diinfus itu sejak tadi telah sibuk melihat-lihat update story instagram milik Cilla. Walau hanya story jalanan namun dapat membuat hati William terasa begitu sangat tenang. Setidaknya Cilla baik-baik saja sekarang.

Senaru yang duduk disofa hanya memperhatikan temannya dengan tatapan yang sangat jengkel. Wajah yang biasanya selalu datar tiba-tiba saja tersenyum dengan waktu yang cukup lama. Lelaki yang biasanya sangat malas untuk membuat lengkungan di bibir dengan begitu lamanya membiarkan lengkungan itu ada.

“Punya temen aneh banget.” Kira-kira seperti itulah gumaman yang William dengar, namun lelaki itu sama sekali tidak perdulikan ucapan temannya.

Tiba-tiba saja pintu ruangan William terbuka dengan sedikit lebar. Lelaki itu lantas menoleh kearah pintu yang terbuka, memperhatikan gadis dengan seragam SMA yang masih melekat ditubuhnya. William menaikan sebelah alisnya ketika gadis itu mendekati dirinya dengan sebuah bungkusan plastik berisikan buah segar. Bibir yang awalnya membentuk senyuman itu langsung saja hilang karena wanita licik yang ada disampingnya.

“Siang. Kamu udah makan belum?” Tanya Kyren dengan begitu bersemangat.

William ingin merubah posisi baringnya menjadi duduk, tangan Kyren dengan cepat memegang lengan William untuk membantu lelaki itu bangun dari tidurnya. Namun dengan sangat kasar William menepis tangan gadis itu. Kyren menaikan sebelah alisnya, menatap bingung William yang tiba-tiba saja bersikap kasar pada dirinya.

“William, kamu kenapa? Berani beg-”

“Gak usah ngancem saya lagi, saya udah gak takut sama kamu. Saya dan kamu sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi sekarang.” Ujar William dengan begitu tegasnya. Mata sipit itu menatap tajam kearah Kyren yang diselimuti kebingungan.

“Hp kamu ada dimeja, ambil sendiri.” Lanjutnya lalu William memilih untuk turun dari ranjang. Membawa tiang infusan untuk duduk disamping Senaru yang hanya memperhatikan drama dari temannya.

Dengan cepat Kyren langsung mengambil ponselnya yang berada diatas meja. Gerakan gadis itu terlihat panik dimata William, menandakan ketakutan jika pikiran Kyren memang benar adanya. Matanya terus mencari sebuah video yang ia simpan supaya William tetap berada disampingnya. Namun nihil. Video itu telah hilang entah kemana.

“Lo nyari ini?” Senaru menunjukan sebuah video kepada gadis itu.

Kyren lantas menoleh, menatap video tersebut dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Lalu pandangannya tertuju pada William yang menaikan sebelah alisnya. Seolah-olah tidak perduli kepada dirinya yang sedang dilanda kepanikan.

“Sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan terjatuh juga. Sekarang kamu keluar, sebelum saya habisin kamu disini. Gak perduli kamu itu perempuan atau banci sekarang.” Ujar William dengan sangat sarkas.

Tangan Kyren terlihat terkepal dengan kuat, menahan amarah dan rasa malu yang bergejolak didalam dirinya. Gadis itu langsung saja keluar dengan air mata yang berlinang, rasa malunya lebih dominan dibandingkan rasa amarah.

“You lose, honey.”

Helaan nafas berat milik Senaru membuat Cilla paham bahwa lelaki itu akan mengatakan sesuatu yang mungkin akan menyakitkan untuk dirinya. Halaman luas yang bisa disebut taman ditengah-tengah rumah sakit menjadi tempat mengobrol untuk mereka berdua. Namun belum ada sepatah kata pun yang ingin Senaru ucapkan.

Sebelumnya ingin sekali Cilla melihat keadaan William yang masih dalam perawatan. Namun Senaru menahan gadis itu, tidak ingin Cilla terlibat masalah besar karena ada Kyren yang menjaga William disana.

Lagi dan lagi Senaru menghela nafasnya dengan berat. Ragu untuk memberitahu semuanya tetapi lelaki itu ingin sekali memberitahu semua kejahatan perempuan yang telah menjadi kekasih temannya.

“Cilla.” Panggil Senaru pada akhirnya, setelah melewati keheningan yang cukup lama untuk mereka berdua.

“Kenapa?”

“Lo masih sayang sama William kan?”

Satu pertanyaan Senaru berhasil membuat Cilla terdiam. Gadis itu memperhatikan lelaki yang ada di sisi kirinya, menatap Senaru dengan perasaan yang menyimpan banyak sekali pertanyaan.

“Kenapa nanya kayak gitu?”

“Gue bilang gini karena gue berharap lo masih suka sama William. Cuman lo yang bisa bantu William yang berantakan sekarang.”

“Gue? Maksud lo apa, Sen? William yang sakitin gue tapi William juga yang butuh gue? Gue gak suka kalo kalian egois gini.” Tatapan Cilla kembali menyiratkan luka yang sudah berusaha untuk ia lupakan.

Senaru dengan jelas menangkap sirat kekecewaan itu, namun ia ingin meluruskan semuanya sekarang. Lelaki itu memperhatikan sekitarnya yang cukup sepi karena sudah memasuki jam istirahat. Memastikan keadaan sekitar aman tanpa adanya Kyren disana. Setelah ia merasa cukup aman, Senaru kembali mengalihkan pandangannya pada gadis yang telah memilih untuk melihat langit malam yang cukup mendung. Mempersiapkan beberapa kalimat untuk dirinya ucapkan.

“La, sebenernya Kyren yang terlalu obsesi sama William. Kyren ancem William pakai sesuatu yang kalau suatu saat anceman itu sampai ditangan Papa William itu bisa bahaya buat kesehatan bokapnya, Cilla. William gak sebrengsek yang lo pikir, dia lakuin ini semua karena terpaksa. Temen lo yang buat temen gue jadi gini sekarang.”

“Dia gak bakalan ngerokok kalau dia bener-bener sayang sama Kyren. Dia gak bakalan berantakan kalau dia bener-bener serius sama Kyren. Sekarang gue tanya, emang ada masalah lain semenjak mereka pacaran? Lo liatnya gak ada kan? Nyatanya ada, La. William dipaksa jadi pacar Kyren kalau gak mau bukti itu dikasih ke bokapnya dan disebar luaskan.”

“William gak bisa ngelawan karena gak ada cara yang dia dapetin. Semuanya seolah-olah buntu, seolah-olah Tuhan gak mau kasih jalan buat temen gue. Dia brengsek karena tuntutan supaya bokapnya baik-baik aja, bukan karena nafsu dia, La.”

Malam ini matahari telah berhasil kembali pada tempat peristirahatannya tanpa menghantarkan hujan. Membuat acara yang sangat meriah berjalan dengan sangat lancar dan menyenangkan. Tak banyak anak-anak yang mengeluh tentang waktu acara yang lama karena mereka sangat puas dengan kinerja keras yang diberikan oleh organisasi yang mengurus acara tersebut.

William, Griya dan Seano sibuk mengembalikan kursi-kursi yang telah digunakan. Sedangkan Kyren, Cilla dan Vely membereskan sampah-sampah yang berserakan. Cukup memakan waktu yang lama untuk mereka hingga tengah lapangan itu kembali bersih seperti semua.

Cilla mengusap keringat yang ada dikeningnya dengan nafas yang tak beraturan. Membersihkan lapangan besar dengan tiga orang saja membuat dirinya hampir mati karena kehausan. Beruntungnya ada seseorang yang dengan siap sedia memberikan sebotol air mineral untuknya.

“Minum, takut mati.” Gurau Marvin yang mendapatkan pukulan kecil sebagai tanda terima kasih.

Cilla meneguk air itu hingga tandar, tenggorokannya terasa sangat lega namun nafasnya masih tidak beraturan. Gadis itu duduk pada pinggir lapangan, menatap beberapa teman organisasinya yang ikut beristirahat dipinggir lapangan.

“Udah boleh pulang?”

“Belum. Kok lo gak langsung balik?”

“Gue mau anter lo balik dulu.” Marvin membenarkan helaian rambut yang menutupi wajah Cilla yang terlihat begitu berkeringat.

Gadis itu terdiam sejenak, ia memperhatikan William yang sedang sibuk dengan ponsel miliknya dengan Kyren yang berada disebelahnya. “Gue izin dulu deh, udah banyak yang pulang juga kok anak osisnya. Tunggu ya.” Cilla berdiri dari duduknya, tangan gadis itu ia gunakan untuk membersihkan belakang roknya yang sedikit kotor.

Dengan sedikit keberanian gadis itu mendekati William untuk meminta izin pulang. Namun ketika ia ditatapan William dengan begitu dinginnya membuat nyalinya menciut begitu saja.

“Gue...gue iz-”

“Cilla pulang duluan ya. Dia udah dicariin orang tuanya. Ayo.” Dengan cepat Marvin memotong ucapan Cilla yang terdengar gemetar. Lelaki itu langsung membawa gadis berambut panjang itu menuju parkiran, memberikan helm motor untuk gadis itu gunanya.

“Saya mau kesana sebentar.” William berdiri dari duduknga, meninggalkan Kyren dengan beberapa teman organisasinya. Langkah itu ia bawa menuju lorong kelas 10 untuk melihat Cilla dan Marvin pulang berasamaan.

Dadanya terasa sesak ketika melihat cinta pertamanya harus bersikap asing karena dirinya. Hatinya terlalu sakit karena harus menerima kenyataan bahwa ia berhasil menyakiti hati gadis yang ia cintai.

Nafas William berubah sesak ketika Cilla dan Marvin telah pergi dari lingkungan sekolahnya. Lelaki itu langsung berpegangan pada dinding yang ada disebelahnya, rasanya semakin sesak hingga William meremas bagian dadanya. Berharap rasa sesak itu akan hilang dengan cepat.

Namun William menyadari sesuatu. Itu bukanlah sesak karena patah hati yang ia alami. Melainkan sesak yang membuat dirinya seakan-akan segera mati ditempat. Sesak yang berhasil membuat tubuhnya berubah melemas. Lelaki itu terjatuh kelantai ketika kakinya tidak berhasil menopang bobot tubuhnya. Rasa sesak itu masih terasa, begitu sangat menyakitkan untuknya.

William tidak paham apa yang ada disekitarnya sekarang. Hanya dengungan kencang yang sangat terdengar digendang telinganya. Hingga akhirnya semuanya telah berubah menjadi bulatan hitam yang menutup matanya. Hanya suara suara samar yang dapat William dengar sekarang.

Malam ini matahari telah berhasil kembali pada tempat peristirahatannya tanpa menghantarkan hujan. Membuat acara yang sangat meriah berjalan dengan sangat lancar dan menyenangkan. Tak banyak anak-anak yang mengeluh tentang waktu acara yang lama karena mereka sangat puas dengan kinerja keras yang diberikan oleh organisasi yang mengurus acara tersebut.

William, Griya dan Seano sibuk mengembalikan kursi-kursi yang telah digunakan. Sedangkan Kyren, Cilla dan Vely membereskan sampah-sampah yang berserakan. Cukup memakan waktu yang lama untuk mereka hingga tengah lapangan itu kembali bersih seperti semua.

Cilla mengusap keringat yang ada dikeningnya dengan nafas yang tak beraturan. Membersihkan lapangan besar dengan tiga orang saja membuat dirinya hampir mati karena kehausan. Beruntungnya ada seseorang yang dengan siap sedia memberikan sebotol air mineral untuknya.

“Minum, takut mati.” Gurau Marvin yang mendapatkan pukulan kecil sebagai tanda terima kasih.

Cilla meneguk air itu hingga tandar, tenggorokannya terasa sangat lega namun nafasnya masih tidak beraturan. Gadis itu duduk pada pinggir lapangan, menatap beberapa teman organisasinya yang ikut beristirahat dipinggir lapangan.

“Udah boleh pulang?”

“Belum. Kok lo gak langsung balik?”

“Gue mau anter lo balik dulu.” Marvin membenarkan helaian rambut yang menutupi wajah Cilla yang terlihat begitu berkeringat.

Gadis itu terdiam sejenak, ia memperhatikan William yang sedang sibuk dengan ponsel miliknya dengan Kyren yang berada disebelahnya. “Gue izin dulu deh, udah banyak yang pulang juga kok anak osisnya. Tunggu ya.” Cilla berdiri dari duduknya, tangan gadis itu ia gunakan untuk membersihkan belakang roknya yang sedikit kotor.

Dengan sedikit keberanian gadis itu mendekati William untuk meminta izin pulang. Namun ketika ia ditatapan William dengan begitu dinginnya membuat nyalinya menciut begitu saja.

“Gue...gue iz-”

“Cilla pulang duluan ya. Dia udah dicariin orang tuanya. Ayo.” Dengan cepat Marvin memotong ucapan Cilla yang terdengar gemetar. Lelaki itu langsung membawa gadis berambut panjang itu menuju parkiran, memberikan helm motor untuk gadis itu gunanya.

“Saya mau kesana sebentar.” William berdiri dari duduknga, meninggalkan Kyren dengan beberapa teman organisasinya. Langkah itu ia bawa menuju lorong kelas 10 untuk melihat Cilla dan Marvin pulang berasamaan.

Dadanya terasa sesak ketika melihat cinta pertamanya harus bersikap asing karena dirinya. Hatinya terlalu sakit karena harus menerima kenyataan bahwa ia berhasil menyakiti hati gadis yang ia cintai.

Nafas William berubah sesak ketika Cilla dan Marvin telah pergi dari lingkungan sekolahnya. Lelaki itu langsung berpegangan pada dinding yang ada disebelahnya, rasanya semakin sesak hingga William meremas bagian dadanya. Berharap rasa sesak itu akan hilang dengan cepat.

Namun William menyadari sesuatu. Itu bukanlah sesak karena patah hati yang ia alami. Melainkan sesak yang membuat dirinya seakan-akan segera mati ditempat. Sesak yang berhasil membuat tubuhnya berubah melemas. Lelaki itu terjatuh kelantai ketika kakinya tidak berhasil menopang bobot tubuhnya. Rasa sesak itu masih terasa, begitu sangat menyakitkan untuknya.

William tidak paham apa yang ada disekitarnya sekarang. Hanya dengungan kencang yang sangat terdengar digendang telinganya. Hingga akhirnya semuanya telah berubah menjadi bulatan hitam yang menutup matanya. Hanya suara suara samar yang dapat William dengar sekarang.

Semilir angin yang begitu sejuk tidak dapat mengatur nafas Cilla kembali normal. Berkali-kali Cilla menarik nafas dengan begitu berat, sesak didada karena kenyataan yang ia terima hari ini begitu sangat menyakitkan.

Sebuah pohon besar dibelakang sekolah telah menjadi tempat persembunyian Cilla ketika ia mengalami hal buruk disekolah. Gadis itu memeluk kedua lututnya, matanya terpejam untuk mencari rasa tenang. Namun sialnya, sesak dadanya semakin menjadi-jadi dan tidak terkontrol.

Tepukan pada bahu gadis itu membuat Cilla reflek menoleh kebelekang, menatap siapa yang telah mengganggu waktu sendiri. Alisnya terangkat ketika melihat dua perawakan lelaki tinggi yang berdiri dibelakangnga. Salah satu lelaki itu duduk disamping Cilla, sedangkan yang satunya masih berdiri dibelakang gadis itu.

“Marvin? Galaxy? Lo berdua ngapain?” Tanya Cilla dengan suara yang pelan.

“Kita liat postingan lo, kak. Lo gak apa-apa kan? Kok bisa-bisanya lo masih temenan sama Kyren yang sering nikung lo?” Galaxy mengusap bahu kakak tirinya dengan perlahan, berusaha menenangkan Cilla yang masih terlihat sangat sedih karena perlakuan Kyren dan William.

“Ya gimana lagi? Temen gue cuman Kyren.”

“Itu bukan alasannya, Cil. Padahal lo bisa milih buat hidup sendirian dari pada terus-terusan makan hati.” Jawab Marvin yang berpindah tempat menjadi dihadapan Cilla.

Tangan lelaki itu dengan pelan menepuk pucuk kepala Cilla, memberikan sebuah usapan lembut walau hanya sebentar. “Hidup gak selalu harus sama orang lain, Cilla. Kita bisa milih buat sendiri supaya gak sakit hati. Pentingin diri sendiri dulu, baru orang lain. Karena yang lo pentingin belum tentu prioritasin lo 'kan?”

Ucapan dari Marvin membuat Cilla terdiam. Gadis itu menunduk, memainkan tali sepatu yang lepas namun dengan cepat Marvin membenarkannya.

“Nangis aja, kak.”

“Buat apa nangis? Toh gue udah ngalamin lebih parah dari ini. Gue kan kehilangan Papa Mama gue, dan menurut gue itu lebih sakit dibanding putus cinta.” Cilla tersenyum tipis setelah berbicara. Senyuman yang membuat Galaxy merasa bersalah walaupun bukan dia pelakunya.

Mereka bertiga sama-sama terdiam sekarang. Tidak ingin mengganggu Cilla yang sedang dalam keadaan hati yang tidak baik. Marvin berpindah tempat menjadi disamping gadis itu, menarik kepala Cilla supaya bersandar dibahunya.

“Gak apa-apa lemah dulu, kuatnya nanti aja. Kalau udah kuat, buktiin ke orang jahatnya kalau lo baik-baik aja setelah mereka jahatin. Orang jahat bakalan seneng kalau korbannya nangis-nangis berkepanjangan. Udah, gak apa-apa, Cil.”

Lira terdiam sembari memperhatikan guci yang tertuliskan nama kekasihnya disana. Guci yang telah diisi oleh abu kremasi benar-benar mematahkan harapan gadis itu sekarang. Julian benar-benar telah pergi dari hidupnya, Julian benar-benar telah berubah menjadi abu yang sangat halus.

Gadis itu ingin sekali menangis, namun rasanya ia sudah tidak mampu sama sekali untuk mengeluarkan perasaan sedihnya. Rasanya Lira benar-benar telah kehilangan jiwa didalam raganya.

Usapan pada bahu lemas itu berhasil membuat Lira tersadar dari lamunannya. Ia menoleh kepada Derren yang mengenakan kacamata hitam, mengusap bahu gadis itu dengan begitu lembutnya.

“Julian udah tenang ya, Ra? Sebenernya gue gak percaya, tapi itu kenyataannya.” Ujar Derren dengan sebuah senyuman menyakitkan yang lelaki itu tunjukan.

Lira mengusap lengan Derren untuk menguatkan lelaki itu. Bagaimanapun Derren lah yang lebih dulu menemani Julian, Derren adalah lelaki yang terus berada disisi Julian hingga akhir hayat kekasihnya.

“Julian nitipin surat buat lo. Bacanya dirumah ya, jangan disini.” Derren memberikan selembar kertas lusuh pada gadis yang ada disampingnya. Lelaki itu pergi begitu saja karena tidak sanggup untuk menahan tangisnya yang akan pecah.

Lira terdiam ditempatnya, ia memperhatikan kertas yang sudah lusuh itu dengan sebuah tulisan nama Julian didepannya. Gadis itu tersenyum tipis walau hatinya terasa teriris untuk yang kesekian kalinya. Matanya kembali memperhatikan guci yang berada didalam lemari. Memorinya kembali berputar dimana Julian sering sekali mengirimkan surat untuk melakukan pendekatan dengan Lira.

“Ian, nanti aku baca ya dirumah. Tapi aku gak janji kalau gak nangis.”

Suara tabrakan antara sepatu dan lantai rumah sakit sangat nyaring ditelinga orang-orang yang berada di lorong lantai 3. Secepat mungkin Lira berlari menuju ruangan yang Derren beritahukan, berharap jika apa yang Derren bilang hanyalah bercandaan belaka. Berharap semua yang Derren bilang adalah kebohongan untuk menakuti dirinya.

Langkah itu berubah memelan ketika melihat dua pria yang sangat Lira kenali. Pria paruh baya dan lelaki muda yang duduk didepan untuk menunggu gadis pemilik hati Julian. Dengan langkah yang berat Lira mendekati Derren dan Gio disana, matanya memancarkan ketakutan yang begitu luar biasa.

“Derren.” Panggil Lira dengan suara yang terdengar gemetar. Sontak Derren dan Gio menoleh secara bersamaan, kedua pria itu lantas berdiri dari duduknya. Menghadap Lira yang lebih pendek dari mereka berdua.

“Ra, Julian didalem tapi lo jangan nangis ya? Julian paling gak siap lo nangis karena dia, Ra.” Ucapan Derren berhasil membuat air mata Lira jatuh begitu saja.

Sesak didalam dada gadis itu datang disaat ia menyadari bahwa ini semua bukanlah mimpi yang ia harapkan. Kenyataan pahit yang harus ia telan bulat-bulat. Melihat Julian sakit adalah patah hati terbesar untuknya.

“Ra...” Derren mengusap bahu Lira yang terasa gemetar. “Julian cuman mau diakhir hidupnya ada lo disampingnya.”

Tangis Lira pecah begitu saja setelah mendengar ucapan dari lelaki yang ada dihadapannya. Dengan sekali tarikan Gio berhasil mendekap gadis yang telah menjadi kesayangannya sejak lama. Gio mengusap punggung Lira dengan perlahan, memberikan kekuatan pada calon mantu kesayangannya.

“Lira, kuat ya, nak? Julian mau lihat kamu untuk yang terakhir kali.” Suara Gio terdengar gemetar ditelinga Derren. Lelaki itu tau jika pria paruh baya dihadapannya merasakan ketakutan yang luar biasa, namun Gio dipaksakan kuat karena usianya yang lebih dewasa.

“Temuin Julian ya.” Gio melepaskan pelukannya perlahan, menghapus air mata Lira dengan begitu lembutnya. Seperti Julian yang suka mengusap pipi Lira dengan perlahan dan sangat lembut untuk dirasa.

Dengan langkah gontai Lira memaksakan diri untuk memasuki ruangan Julian. Tangan gemetar itu ia paksakan untuk mendorong pintu yang masih tertutup dengan rapat, indra penciumannya langsung menangkap bau alkohol yang sangat menyengat. Mata bulatnya langsung melihat Julian yang terbaring sembari memejamkan matanya, dengan alat-alat medis yang terpasang ditubuh lelaki itu.

Nafas Lira tercekat melihat Julian yang sangat lemah terbaring diatas ranjang. Perlahan tubuhnya ia bawa untuk mendekati Julian, menatap Julian yang sangat kurus lebih dekat. Rasanya lebih menyakitkan dari pada sebelumnya, hingga Lira harus menutup mulutnya untuk menahan isakan yang berusaha keluar.

Mata Julian perlahan terbuka ketika ia merasakan kehadiran seseorang disekitarnya. Bola matanya melirik kearah kanan, mendapati Lira yang memejamkan mata dengan air mata yang keluar. Mata sayu itu hanya menatap sendu kearah kekasihnya yang menahan tangisan, ada terselip rasa bersalah didalam lubuk hatinya.

Ingin sekali Julian memeluk Lira, ingin sekali Julian menenangkan Lira. Namun Tuhan telah mengambil seluruh kemampuannya bergerak, Tuhan telah memberhentikan seluruh otot-ototnya. Sehingga yang Julian bisa lakukan hanya berbaring dengan rasa sesak yang ada didadanya.

Dengan sedikit keberanian Lira membuka matanya, menatap mata Julian yang ternyata sedang menatap dirinya. Perlahan Lira duduk pada kursi yang ada disebelahnya. Gadis itu tidak bisa menahan tangisnya hingga pecah disamping Julian. Rasanya sesak sekali melihat Julian yang hanya berbaring tanpa bisa melakukan apa-apa.

“I-ian...sembuh ya?” Ujar Lira dengan suara terbata-bata. Julian hanya menatap tanpa ekspresi, bahkan hanya untuk tersenyum pun lelaki itu sama sekali tidak mampu.

“Julian, jangan tinggalin Lira.” Lira menggenggam tangan Julian dengan begitu erat. Seolah menghalang jiwa Julian untuk pergi dari raganya.

“Katanya Ian ke Bali? Kok dirumah sakit? Katanya Ian bakalan tetep disamping Lira? Kok kata Derren Julian mau pergi? Katanya Ian bakalan hidup sampai tua sama Lira, kok Ian bohong?” Banyaknya pertanyaan yang diberikan Lira tidak dapat membuat Julian kembali berbicara.

Tangis gadis itu semakin pecah karena harus menerima sebuah kenyataan. Julian telah kehilangan seluruh kehidupannya, Julian telah kehilangan semua masa depannya dan Julian telah kehilangan jiwa yang telah menemani raganya.

“Ian, bahagia sama Tuhan ya? Lira bakalan bahagia kalo Ian juga bahagia.”

Langkah lebar milik lelaki berhoodie putih itu dengan sangat ragu menjalankan langkah lebarnya pada ruang inap milik sahabatnya. Ia menghela nafas berat ketika mengingat pesan dari omnya tadi siang. ALS adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan, artinya Derren siap tidak siap dan cepat atau lambat harus kehilangan sahabat satu-satunya.

Dengan perlahan lelaki itu membuka pintu ruangan milik Julian. Bau obat-obatan dan juga alkohol langsung sangat menyengat ketika lelaki itu masuk kedalam. Disana, diatas ranjang rumah sakit terdapat sahabatnya yang terbaring sambil memainkan ponselnya. Ada perasaan lega karena Julian terlihat baik-baik saja, namun pada kenyataannya Julian sedang menunggu maut menjemput dirinya.

Julian yang menyadari kehadiran Derren diruangannya langsung saja menaruh ponsel tersebut diatas meja. Lelaki itu menatap bingung kearah Derren yang hanya diam saja.

“Lo ngapain kesini, Der?”

“Gue mau liat keadaan lo yang katanya lagi di Bali.” Sarkas Derren dengan begitu tajam namun membuat Julian tertawa pelan.

Lelaki itu mendengus kesal, pasalnya ia sedang tidak bercanda atau melawakan sesuatu. Derren sangat kesal karena Julian telah membohonginya selama ini.

“Sejak kapan?” Tanya Derren setelah ia duduk dikursi samping ranjang milik Julian.

Julian terdiam untuk berfikir sejenak. “Sekitar...sebulan lalu? Waktu itu gue sering banget jatuhin barang atau kaki gue gak bisa digerakin sampai jatuh. Gue gak tau kenapa, tapi setelah gue periksa keadaan gue akhirnya gue tau.” Julian tersenyum tipis setelah menjelaskan. Lelaki itu menatap kedua kakinya yang sudah benar-benar tidak bisa digerakan kembali.

Derren hanya terdiam setelah mendengarkan penjelasan dari Julian. Membuat ruangan yang cukup luas itu diselimuti dengan keheningan. Tak ada yang membuka pembicaraan kembali karena sibuk dengan pemikirannya masing-masing.

“Der, gue boleh minta tolong?” Pertanyaan yang dilontarkan oleh Julian berhasil memecahkan keheningan yang ada. Derren menoleh dengan cepat, sebelah alisnya terangkat seolah-olah bertanya 'apa?' Kepada lelaki yang ada dihadapannya.

“Jari-jari gue mulai susah digerakin. Bisa gantiin gue buat ngetik gak? Lira belum tau kondisi tentang gue dan tolong jangan kasih tau dia. Gue cuman mau lo gantiin gue buat ngetik, ya?” Julian berujar dengan tatapan memohonnya. Menatap Derren dengan penuh harap, berharap Derren mengiyakan permintaannya.

“Sampai kapan lo nutupin ini semua dari Lira?”

“Sampai gue siap ngeliat dia nangis karena gue, Der.”

Panggung dengan dekorasi yang begitu bagus serta tenda yang telah dipasang ditengah-tengah lapangan adalah haris jerih payah dari anak-anak OSIS angkatan 34. Banyak yang terus mengelap keringat dikeningnya karena cuaca yang begitu panas tetapi mereka diharuskan berkeliling untuk mengecek keadaan panggung dan tenda yang terpasang dilapangan. Memastikan semuanya telah beres dan aman.

Cilla menghela nafas berat setelah ia mengelilingi tenda yang digunakan untuk para guru duduk dan menonton acara pensi yang diselenggarakan. Gadis itu mengusap keningnya yang sudah dibanjiri keringat, bahkan rambut yang ia kuncir kuda sudah terlihat kering karena matahari yang begitu terik diatas kepalanya.

Dengan langkah gontai, Cilla memilih untuk kembali keruangan OSIS. Mengeringkat keringatnya dengan AC yang berada disana. Mengistirahatkan badannya dengan berbaring pada lantai ruangan OSIS yang sangat nyaman. Hanya diruangan OSIS Cilla dapat merasakan kenyamanan disana.

Baru saja Cilla ingin memasuki ruangan tersebut, namun ia dikejutkan dengan seorang lelaki tinggi yang tiba-tiba saja keluar dari sana. Cilla mendongak untuk melihat lelaki yang ada dihadapannya, alisnya terangkat karena bingung dengan adanya Marvin yang keluar dari ruangan OSIS tersebut.

“Lo ngapain?” Tanya Cilla dengan wajah bingungnya.

Tanpa basa basi Marvin langsung memberikan sebungkus roti ditangan Cilla dan juga sekotak susu pisang yang sering Cilla beli pada kantin sekolah.

“Lo harus makan, kan udah luangin banyak tenaga buat acara sekolah. Saatnya lo luangin waktu buat diri sendiri.” Ujar Marvin dengan sebuah senyuman tipis yang ia berikan untuk Cilla.

Gadis itu terdiam dalam waktu yang cukup lama, sampai ia tersadar ketika tangan Marvin mengacak rambut Cilla yang terasa sangat kering dipermukaannya.

“Pulang sekolah langsung ke salon, rawat diri lo sendiri. Relax-in pikiran lo, oke? Gue mau ke kelas dulu, udah mau masuk. Dah, Cil.” Marvin melambaikan tangannya pada Cilla dan langsung bergegas kembali ke kelas.

Cilla memperhatikan punggung Marvin yang hilang begitu saja saat lelaki itu berbelok kearah kiri untuk menaiki anak tangga. Gadis itu kembali memperhatikan roti yang ada digenggamannya. Bungkusan roti yang Cilla sangat tahu bahwa ini adalah roti dari tokok milik Mama dari Marvin.

“Thanks.”

Jam pulang sekolah sudah berbunyi sejak 5 menit yang lalu. Namun tiga gadis itu masih menetap pada pinggir lapangan yang cukup luas, menunggu area sekolah sedikit sepi supaya tidak bertabrakan saat keluar dari gerbang.

Kyren, Cilla dan Rachel membahas beberapa hal random saat menunggu siswa siswi keluar dari gerbang sekolah. Rachel yang berjulid tentang kakak kelas, Kyren yang membicarakan guru paling menyebalkan dan Cilla yang hanya mampu untuk menyambung-nyambungkan saja.

Suasana sekitar sekolah semakin sepi setelah 10 menit telah berlalu. Kyren langsung mengajak kedua temannya untuk menuju gerbang sekolah, ingin kembali kerumah dan beristirahat tanpa memikirkan pelajaran yang sangat memusingkan kepalanya.

Namun saat ketiga gadis itu ingin keluar gerbang, dengan tiba-tiba saja William menarik lengan Cilla hingga gadis itu menabrak dada bidang lelaki yang ada dibelakangnya. Cukup terkejut namun tak mampu membuat Cilla mematung seperti pada drakor-drakor romance yang ia tonton.

“Kenapa?” tanya Cilla dengan perasaan canggungnya.

William masih saja memegang lengan Cilla tanpa ingin melepaskan pegangan tersebut. Bahkan jari jemarinya turun untuk menggenggam tangan Cilla. “Kamu ada janji sama saya.” ujar William dengan nada datarnya, seperti biasa.

“Ekhem” suara deheman yang cukup keras itu berhasil mengalihkan perhatian William dan Cilla. Rachel menyengir sembari menggaruk tengkuknya, menatap dua insan yang ada dihadapannya dengan tatapan seperti menggoda Cilla. “Gue sama Kyren balik duluan ya. Dadah, Cil!”

Kyren mengangguk untuk menanggapi ucapan Rachel, gadis itu tersenyum tipis kearah temannya. Sebelum pergi mata tajam itu menatap William dengan sebuah isyarat yang tak ingin William pahami. Bahkan lelaki itu memilih untuk mengalihkan perhatiannya. Sangat enggan untuk menatap gadis licik yang sudah berjalan menjauh untuk kembali kerumah.

“Ayo.” intonasi lelaki itu langsung berubah lembut ketika sudah tidak ada siapapun disana.

William menuntun Cilla menuju motornya yang masih terparkir rapih pada parkiran jurusan IPA disekolahnya. Gadis itu hanya memperhatikan William memundurkan motornya, sesekali membantu William untuk menarik motornya.

“Sini.” William mengulurkan tangan kirinya, menggenggam tangan Cilla supaya gadis itu lebih mudah menaiki jok motornya.

Setelah merasa aman pada belakangnya, William langsung melajukan motor tersebut kearah yang Cilla tidak ketahuisama sekali.

Sebenarnya Cilla merasakan cemas karena ia belum bisa mempercayai William sepenuhnya. Namun gadis itu juga senang karena William ingin mengajaknya pada tempat yang ia bilang indah.

Selama perjalanan hanya suara motor yang cukup bising mengisi keheningan mereka. Tidak mungkin William mengajak Cilla untuk berbicara walau hanya sepatah kata. Namun setidaknya dengan perlahan-lahan Cilla mendapatkan sebuah timbal balik dari William. Timbal balik yang menurut Cilla adalah sebuah kesenangan tersendirinya.


Langkah kaki itu dengan ragu mengikuti William yang membawa dirinya memasuki gedung kosong dan terbengkalai. Perasaan cemas semakin menjadi-jadi karena tidak ada satu orang pun disana, terkecuali mereka berdua.

Anak tangga yang terbilang cukup banyak itu mengarahkan William dan Cilla kebagian paling atas gedung kosong itu. William berjalan menuju pinggir rooftop yang berada digedung itu. Lelaki itu menoleh kearah Cilla, menggenggam tangan perempuan itu untuk mengikuti arahnya.

“Gak akan saya apa-apain.” ujar William seolah tau kecemasan gadis itu.

Cilla mengikuti langkah kaki lelaki yang menuntunnya yang membawa gadis itu untuk berdiri di pinggir gedung. Takut terjatuh William memutuskan langsung mendudukan aspal yang sudah sedikit rusak, menarik lengan Cilla dengan lembut agar duduk disampingnya.

Cilla memperhatikan sekitar memalui atap gedung yang lumayan tinggi jaraknya. Mata itu berbinar ketika melihat beberapa bangunan dan rumah yang penerangannya sudah menyala karena matahari akan terbenam sebentar lagi.

“Saya kalau suntuk suka kesini, liat matahari sambil mainin gitar. Tapi saya lagi gak bawa gitarnya.” ujar William memecahkan keheningan. Lelaki itu memperhatikan langit yang sudah berubah menjadi warna jingga, bahkan matahari sudah ingin kembali ketempat istirahatnya.

“Liam, kenapa lo kepikiran ngajak gue kesini?”

“Karena kamu sama langit senja itu sama-sama indah buat saya. Kalian sama-sama bisa nenangin hati saya. Bedanya senja hanya bertahan dengan waktu yang sebentar, kalau kamu belum tentu bisa bertahan dalam waktu yang lama. Selagi kamu masih disini, saya akan semaksimal mungkin buat bahagiakan kamu, Cil.”

Ucapan yang diberikan William bukanlah kebohongan. Lelaki itu berujar dengan begitu serius, menatap dengan lekat mata coklat milik gadis itu. Menatap dengan begitu sayunya, tak ada tatapan datar seperti biasanya.

Mereka terdiam dengan mata yang saling menatap, seolah-olah pandangan mereka telah terkunci pada satu sudut saja.

Dengan perlahan William memajukan tubuhnya. Bibir itu mengecup pipi Cilla dengan lembut, terlihat berani namun ada jantung yang berdegup dengan kencang disana. Cukup lama William membiarkan bibirnya menyentuh pipi Cilla, sampai lelaki itu tersadar jika itu terlalu lama dan ia langsung menjauhkan tubuhnya.

Tubuh Cilla mematung ketika William melakukan tindakan yang membuat banyaknya kupu-kupu datang. Mata itu memperhatikan lelaki yang kembali menatapnya tanpa berkedip. Berusaha mencerna tindakan yang barusan William lakukan.

“Saya lagi berusaha, Cil. Selalu percaya sama saya ya?”