Kakdoyiiee

Singkat.

Secangkir teh hangat yang berada di hadapan Azura membuat gadis itu merasa sedikit hangat di sekitaran tangannya. Pakaian serba hitam yang Azura kenakan sedikit basah karena air hujan yang mulai turun ketika ia dan Julian sedang berdoa di makan Ibunda. Sangat disayangkan, Azura tidak bisa berlama disana. Terpaksa kembali kerumah agar mereka tidak kehujanan dan berakhir dengan keadaan demam.

Handuk kecil tiba-tiba saja menyentuh kedua pundaknya. Azura menoleh kebelakang, mendapati Julian yang ternyata memberikan handuk tersebut untuk anaknya.

“Makasih, Pa.” ujar gadis itu.

Julian duduk pada single sofa yang berada di samping kiri Azura. Menatap putrinya yang sedang menikmati teh hangat buatannya. Julian masih tidak percaya jika hubungan ia dengan anak kandungnya berubah renggang setelah ia menikah. Julian sama sekali tidak tahu mengapa Azura sangat tidak suka kepada istri dan anak tirinya. Entah apa yang mereka sembunyikan, yang jelas Julian sangat merindukan sikap putrinya yang hangat seperti dulu.

“Azura.” panggil Julian. Azura lantas menoleh tanpa jawaban. Matanya sudah memancarkan sebuah pertanyaan. “Tinggal disini lagi ya? Papa gak mau hubungan Papa dan kamu putus kalau kamu tinggal dirumah Tante kamu terus, Zura.”

“Hubungan anak dan orang tua gak akan pernah putus. Mau secara lisan, agama, ataupun hukum. Papa gak usah khawatir.” jawab Azura tanpa berpikir panjang. Gadis itu kembali meminum teh hangatnya, tidak perduli dengan raut wajah Julian yang seketika langsung berubah.

Julian menghela nafas dengan berat. Bibirnya ia paksakan untuk terukir, membuat sebuah semburat senyuman yang benar-benar ia paksakan. “Yaudah, tapi Zura gak boleh tolak kiriman uang dari Papa ya? Zura boleh tinggal sama Tante Sophia, tapi Papa yang bakalan biayain hidup kamu. Nanti Papa bilang ke Tante Sophia.”

Azura tidak menjawab apapun, ia memilih diam dibandingkan harus berdebat mengenai uang sehari-hari. Lagi pula Azura tidak mau Julian mengetahui jika ia mengambil part time disalah satu toko roti. Dan semoga saja Julian tidak akan pernah mengetahuinya. Karena Azura tahu, hal itu akan membuat Julian merasa gagal menjadi orang tua.

Alone.

Jari jemari lentik milik seorang lelaki yang sudah tertidur sejak 2 hari yang lalu perlahan bergerak, memberikan tanda jika jiwa lelaki itu dengan perlahan kembali kepada raganya. Matanya mengerjap dengan perlahan untuk menyesuaikan cahaya, ia langsung melihat sekelilingnya yang masih terlihat buram dan... sepi.

Pikiran yang pertama kali ia layangkan adalah, dimana keberadaan sang Papa? Jonathan, pria dewasa itu biasanya berada di samping dirinya dengan menggenggam jari jemari Raga dengan sangat lembut. Namun, kali ini rasanya sangat berbeda.

Raga terbangun dengan hawa dingin yang menyelimuti dirinya. Aneh, sungguh sangat aneh Raga merasakannya.

Ketika pandangannya mulai membaik sepenuhnya, beberapa perawat dan satu dokter masuk dengan alat medis yang mereka bawa. Dokter tersebut langsung memeriksa keadaan Raga, melihat kedua mata Raga dan melakukan beberapa tahapan yang sedikit membuat Raga meringis.

“Om Hendra, Papa mana?” pertanyaan pertama dengan suara pelan milik Raga.

Hendra tersenyum tipis, disatu sisi ia sangat tidak tega dengan Raga yang baru saja sadar setelah dua hari berada didalam kegelapan. Namun, disisi lain ia harus tetap bersikap profesional sebagai Dokter yang merawat Raga.

“Nanti kamu cek ponsel kamu aja ya? Tapi, setelah kamu lebih membaik dari sekarang.” jawab Dokter Hendra dengan senyumannya.

Raga tidak kembali menjawab, tubuhnya melemas ketika salah satu perawat menyuntikan dosis obat yang Raga selalu terima setiap ia sadar dari tidur panjangnya.

Namun, pikiran itu tidak berhenti bekerja. Raga masih berfikir dimana keberadaan Jonathan sekarang? Ini pertama kalinya Jonathan tidak ada diruangannya. Apa Jonathan sudah sangat muak dengan kondisi Raga yang sulit sekali untuk stabil.

Tapi, bukankah tanpa Raga, Jonathan akan hidup dengan berantakan?

Apa Raga punya kesempatan?

Jari jemari panjang milik Raga ia angkat untuk melihat kelima jarinya yang terlihat baik-baik saja. Seluruh tubuhnya terasa sakit, namun ia bersyukur karena kedua tangannya tidak terlalu merasakan sakit. Raga bersyukur, ia masih bisa menggenggam sang Papa atau menghubungi Papanya.

Mata itu teralihkan ketika ia mendengar suara pintu yang terbuka. Raga melihat Jonathan yang memasuki ruangannya sembari membawa makanan. Baru melihatnya saja nafsu makan Raga sama sekali tidak ada.

“Badan jagoan masih sakit?” tanya Jonathan setelah ia menaruh makanan tersebut diatas meja. Jonathan lantas mendekati putranya. Mengusap rambut jagoannya dengan sangat lembut.

Tentu Raga menjawab dengan anggukan pelan. Punggungnya terasa sakit sakit hingga sulit untuk bergerak. “Raga gak apa-apa. Nanti Raga minum obat biar gak sakit lagi. Rasa sakitnya udah biasa Raga rasain.” ujar anak remaja itu dengan senyuman tipisnya.

Ia terlalu benci jika membuat Jonathan khawatir atau menangis karena kondisinya semakin hari kian memburuk. Sulit sekali untuk mendapatkan rasa tenang sehari saja.

“Yasudah. Raga makan ya? Papa yang suapin, oke? Kalau ngerasa mual langsung bilang sama Papa ya?”

Raga hanya dapat mengangguk. Terlalu sulit untuk menolak Jonathan. Alasannya, Raga terlalu enggan untuk melihat binar kesedihan Jonathan.

“Pa.” panggil Raga. Jonathan yang sedang mengatur kepala ranjang Raga lantas menoleh ke arah putra semata wayangnya. Menatap Raga dengan tatapan yang sangat lembut, seolah bertanya mengapa Raga memanggil dirinya.

“Raga beban Papa ya?” tanya lelaki itu.

Jonathan menghela nafas pelan setelah ia membenarkan posisi kepala ranjang Raga agar Raga dapat makan dengan nyaman. Ini adalah keseribu kalinya Raga bertanya tentang persoalan dirinya yang menjadi beban atau tidak. Dan sudah keseribut kalinya Jonathan menjawab.

“Kamu bukan beban, Raga. Sudah berapa kali Papa bilang? Kamu itu jagoan Papa, bukan beban Papa.”

“Hidup Raga cuman sakit. Rumah sakit, pulang, rumah sakit, pulang. Buang-buang uang Papa.” elak lelaki itu lagi.

Jonathan duduk pada kursi di samping ranjang Raga. Menatap Raga dengan tatapan lembut seperti biasanya.

“Kalau kamu terus berfikit negatif, gimana kamu mau sembuh, Raga? Perbanyak berfikir positif ya? Papa sayang kamu, kamu bukan beban Papa dan kamu itu kebahagiaan Papa. Kalau gak ada kamu, Papa berantakan, Raga.”

“Tapi, apa Raga punya kesempatan? Dunia udah renggut semua organ Raga.”

Jawaban dari Raga membuat Jonathan langsung terdiam. Jika di tanyakan Raga memiliki kesempatan atau tidak, tentu Jonathan tidak tahu. Semuanya terlalu abu-abu untuk Jonathan perkirakan. Bahkan, Jonathan selalu enggan untuk melanjutkan kehidupannya jika Raga benar-benar tidak memiliki kesempatan.

“Raga, makan ya? Biar punggungnya gak sakit lagi. Papa suapin.”

Pada akhirnya, Jonathan akan selalu mengalihkan pembicaraan.

Dari Juna untuk Alya.

Rumah dengan corak dinding yang sangat abstrak berhasil membuat Alya tertarik melihat setiap kali ia datang kerumah Juna. Sudah 3 kali Alya mendatangi kediaman sederhana milik Juna, namun ia selalu kagum dengan isi dalamnya. Rumah sederhana yang di penuhi oleh sisi seninya.

Alya kini memperhatikan Juna yang sibuk dengan coretan diatas buku tebalnya. Coretan yang sangat rapih, bahkan lebih bagus dibandingkan milik dirinya sendiri. Alya akui jika Juna adalah lelaki yang memiliki tulisan terapih sejauh ini.

“Juna, tulisan lo keren.” ujar Alya sembari mengacungkan kedua jempolnya.

Juna menoleh, melihat Alya yang tersenyum manis dengan kedua jempol yang terangkat. Hatinya begitu berdebar setiap kali melihat senyuman dari bibir tipis milik Alya. Darahnya mengalir dengan hangat setiap kali Juna berada didekat Alya.

“Thanks, Al.” Balas Juna. Lelaki itu kembali fokus kepada lembaran yang berada dibawah pandangannya, melanjutkan menulis untuk menyelesaikan rangkuman yang di berikan.

Tiba-tiba saja, terbesit satu rasa di dalam diri Juna. Rasa yang saat ini tidak ingin Juna sembunyikan untuk waktu yang lebih lama lagi. Juna ingin, Alya mengetahui semuanya sekarang. Atau bahkan, detik ini juga.

“Al.” Panggil lelaki itu setelah terdiam cukup lama. Alya kembali menoleh, menaikan sebelah alisnya dengan tatapan bingung di wajahnya. “Kenapa?” tanya gadis itu.

Juna mengambil ponselnya, ia mengetik sesuatu di ponsel tersebut hingga terdengar suara yang sangat merdu di telinga Alya. Ini lagu Tulus, salah satu penyanyi favoritnya sejak dulu.

“Al, dengerin lirik yang ini ya.” Pinta Juna sembari memindahkan detik lagu tersebut.

Hadir mu sangat berharga, ku ingin engkau tahu aku sayang kamu.

Alya terdiam setelah mendengar lirik yang menjerumus terhadap perasaan. Matanya menatap Juna dengan tatapan yang sangat bingung untuk merespon perilaku Juna.

“Maksudnya, Jun?” satu pertanyaan bodoh terlontar dari mulutnya. Alya sudah mengetahui lirik tersebut, dan seharusnya Alya sudah paham tentang sesuatu yang akan Juna katakan.

“Al, perasaan gue sama kayak lirik ini. Gue sayang sama lo, Al.”

Buruk.

Azura, gadis itu berlari dengan cepat sampai berhasil memasuki gedung pernikahan sang Papa. Nafasnya sangat memburu ketika ia berada di depan penerima tamu, kakinya terasa lemas karena harus berlari sejak 7 menit yang lalu.

Ia menyadari jika acara akad di dalam sana telah selesai sejak beberapa menit yang lalu. Azura berjalan dengan perlahan memasuki ruangan yang di penuhi oleh para tamu undangan, mencari keberadaan Marvel agar ia tidak merasa sendirian.

Mata yang melirik itu lantas terhenti ketika ia melihat kekasihnya sedang berdiri di samping Kiara, membuat hati Azura terasa panas karena ia tidak menyukai jika Marvel terlalu dekat dengan adik tirinya. Dengan langkah tertatih, Azura menghampiri Marvel tanpa rasa malu. Banyak orang yang memperhatikan gadis itu karena gaun putih yang di pakai olehnya sangat kotor karena genangan air yang tidak sengaja Azura injak dengan keras.

Kiara menatap gaun Azura yang sama dengan dirinya, namun gaun yang Kiara pakai masih terlihat sangat bersih dan pantas untuk di pakai. Berbeda dengan milik Azura yang sudah terlihat kotor dan tidak enak untuk di lihat.

“Kak Azura kok gaunnya kotor banget sih? Kan ini acara Papa, gak ngehargain Papa banget kayaknya.” Ujar Kiara dengan nada yang sangat sinis.

Marvel menoleh ke sampingnya, ia melihat Azura yang sedikit berantakan dan gaun yang sangat kotor untuk di pakai. Dengan cepat, Marvel mendekati gadisnya, memberikan jaket yang ia pegang sejak tadi ke punggung Azura.

“Kamu kenapa bisa kotor gini?” tanya lelaki itu dengan heran.

“Ban mobil aku pecah, jadinya aku harus lari gara-gara udah telat.” jawab Azura dengan nada yang sangat manja.

Kiara menatap tidak suka kepada Azura. Gadis itu sangat tidak suka jika ada orang yang memberikan perhatian selain kepada dirinya. Ia sangat benci di abaikan.

“Kak Azura mending ganti baju, gih. Malu-maluin.” Ujarnya lagi, namun kali ini dengan nada yang lebih sinis dari sebelumnya. Azura tidak menjawab, bahkan ia tidak memperdulikan jika ada Kiara disana.

Kiara berdecak dengan sebal, matanya semakin menajam untuk menatap Azura yang sedang mengobrol dengan Marvel di depan dirinya. Dengan langkah yang sedikit keras ia hentakkan, Kiara berjalan disamping Azura dengan bahu yang sengaja ia tabrakan ke bahu Azura dengan keras.

Tubuh Azura tidak bisa mengimbangi dorongan tersebut, gadis itu berusaha menarik lengan Marvel. Namun, terlambat. Ia terjatuh ke arah meja yang di isi penuh dengan cemilan dan berakhir Azura yang tertimpa beberapa makanan karena tidak sengaja menarik kain yang menutupi meja tersebut.

Tubuhnya kini semakin terlihat berantakan karena banyak makanan yang tumpah diatas dirinya. Bahkan ada beberapa minuman yang tumpah diatas kepalanya.

Malu. Satu kata yang bisa menggambarkan perasaan Azura sekarang. Ia menoleh kearah Kiara, menatap gadis itu yang sedang tersenyum puas sambil melihat dirinya. Bahkan ada beberapa orang yang mengambil gambar Azura sekarang.

“Zura, aku bantu. Pelan-pelan.” Marvel membantu gadis itu untuk berdiri, namun belum ada ia menyentuh lengan Azura, gadis itu sudah menepisnya dengan kasar. Azura berdiri dengan sendirinya.

Dengan perasaan yang amat luar biasa malunya, Azura berlari keluar gedung. Entah kemana ia pergi, yang jelas Azura harus menyembunyikan dirinya yang sudah seperti tidak ada harga diri.

Kita Mengulang.

Langkah besar itu berlari dengan sangat cepat di lorong rumah sakit yang terasa sangat panjang. Juna sedikit kuwalahan untuk meminta alamat rumah sakit yang disembunyikan oleh pihak kampus disana. Namun dengan banyaknya usaha akhirnya Juna berhasil mendapatkan alamat rumah sakit tersebut.

Mata lelaki itu memburam dengan air mata yang menumpuk di pelupuk matanya, siap tumpah kapan saja. Jantungnya berdetak sangat keras, memikirkan kekasihnya yang menjadi korban dalam kecelakaan tersebut.

Langkah lebar itu dengan perlahan mengecil ketika ia melihat beberapa mahasiswa/i yang sedang duduk didepan ruang rawat dengan berbagai perban di tubuhnya. Juna melihat kesekitarnya, mencari keberadaan kekasihnya yang tidak ada di depan mata kepalanya.

Tanpa ragu, Juna menghampiri salah satu mahasiswi yang sedang terpejam dengan plester yang berada di pipinya. Nafasnya memburu, memikirkan kalimat yang pantas untuk dia keluarkan.

*“Sorry, Alya ada dimana ya? Gue gak liat dia disini.” tanya Juna dengan suara yang sedikit gemetar.

Gadis yang ada di hadapannya menoleh kearah Juna, menatap Juna dengan tatapan sayu karena rasa sakit yang ada di kepalanya.

“Setau gue Alya sama Pak Gio tadi di rawat lebih lanjut. Mereka duduk di paling depan, luka mereka lebih parah dari pada kita.” jawab gadis itu.

Tubuh Juna berubah melemas, ia hanya dapat mengangguk sebagai respon tanpa adanya perkataan yang keluar.

Juna berjalan dengan langkah gontainya, melewati beberapa ruang rawat yang di isi oleh pasien disana. Juna melirik kearah kanannya, melihat kedalam ruang rawat secara sekilas untuk memastikan jika kekasihnya masih baik-baik saja.

Langkah itu terhenti ketika ia melihat seorang gadis yang terduduk merenung diatas brankar. Kepalanya terbalut dengan perban yang sudah di olesi oleh obat merah, ia hanya menatap kearah jendela yang sedikit terbuka.

Dengan buru-buru, Juna langsung membuka pintu tersebut. Memasuki ruangan tersebut tanpa izin, tidak perduli jika ujung-ujungnya ia akan di usir. Lelaki itu langsung memeluk gadis yang ada di hadapannya dengan sangat erat. Sangat sangat bersyukur karena ia masih melihat Alya dengan keadaan yang lebih baik dari pada yang ada di pikirannya.

“Al, kamu bikin aku panik setengah mati.” ujarnya.

Alya terdiam, namun dengan kasar gadis itu langsung melepas pelukannya. Mengundang tatapan bingung dari lelaki yang baru saja memeluknya.

“Sorry, gue gak kenal lo. Jadi, tolong sopan sedikit.”

Tanpa Keraguan.

Delian Afiano. Seorang pria yang memiliki satu anak perempuan dan telah berpisah dengan sang istri sejak satu tahun yang lalu. Semenjak perpisahan itu, hidup Lian terasa berputar sangat hebat. 180° dari yang Lian rasakan sebelumnya.

Langkah lunglai pria itu sangat terlihat ketika ia ingin memasuki rumah besar namun sangat sepi didalamnya. Tidak ada sambutan hangat atau pun perbincangan hangat seperti dulu kala. Ingin ia menyalahkan dirinya, namun Lian merasa jika ini bukan kesalahan dirinya ataupun kesalahan Ella. Semuanya berlalu diluar dugaan mereka berdua.

Helaan nafas kasar terdengar ketika Lian memegang gagang pintu rumahnya, ia harus bersiap untuk kembali masuk dan mengingat tentang semua kenangan bersama dengan Ella. Kenangan manis yang mereka lakukan, dan kenangan buruk yang mereka lewati bersama.

“Mas Lian!!” Teriakan seorang perempuan yang sangat Lian kenali berhasil mengurungkan pria itu untuk membuka pintu.

Lian berbalik badan, belum ada 10 detik ia berbalik sudah ada yang menubruk tubuhnya dengan sangat kencang. Membuat Lian hampir terjatuh jika ia tidak bisa mengimbangkan dirinya.

Ella, perempuan itu memeluk Lian dengan sangat erat. Menangis sekuat-kuatnya didalam pelukan Lian. Menumpahkan seluruh rasa yang telah mengganjal sejak satu tahun yang lalu.

Sejujurnya, Ella sangat merindukan pria itu. Ella sangat menginginkan pria itu kembali kedalam dekapannya. Namun, rasa sakitnya saat itu masih memuncak. Sampai ketika Lian memberitahu tentang keinginannya, sakit Ella seakan tersihir dan hilang begitu saja.

“El...” Panggil Lian ketika pria itu membalas pelukan Ella dengan sangat erat. Menghirup aroma rambut khas milik Ella yang sangat menenangkan untuk Lian.

“El, jangan pergi lagi. Aku mohon. Jangan tinggalin aku dan ninggalin semua kenangan yang gak bisa aku hapus. Kembali sama aku, Ella. Aku gak bisa kalau tanpa kamu.” ujarnya tanpa ada rasa takut tertolak dari sang perempuan.

Ella mengangguk dengan keras, mengiyakan ucapan Lian tanpa adanya sepatah kata pun yang keluar. Tangisnya terlalu keras sehingga gadis itu terlalu sulit untuk berbicara.

“Ella, hidup dengan aku dan Ana lagi sampai selamanya ya? Kita buat kenangan dan kebahagiaan yang lebih banyak dari sebelumnya. Aku sayang kamu, Ella. Kamu cinta terakhir aku. Jangan pergi kalau bukan maut yang memisahkan kita. Aku mohon.”

tw // mention of death.

Sebuket bunga mawar yang berada ditangan Haekal dibawa oleh lelaki itu menuju sebuah makam orang yang terakhir kali menjadi saksi hidupnya. Sebuah gundukan tanah yang sudah dirapihkan dengan sangat indah membuat Haekal tersenyum tipis dengan perasaan yang sangat bercampur aduk.

Lelaki itu berdiri disamping makam milik sang Papa. Ia menaruh buket bunga tersebut diatas makam dengan harapan Papanya akan tersenyum karena melihat bunga kesukaannya. Haekal berjongkok, menatap nisan yang bertuliskan nama sang Papa dengan sangat apik. Walaupun tulisan tersebut sudah hampir pudar karena sudah cukup lama Papanya tertidur dibawah tanah.

Haekal mengusap batu nisan tersebut dengan amat lembut. Membersihkan beberapa rumput dan dedaunan yang jatuh diatas makam Papanya. Sedangkan otaknya sedang berputar untuk menyusun sebuah kalimat yang akan ia utarakan.

“Papa.” kata pertama yang membuat Haekal menghela nafas berat. Ia duduk tanpa dengan alas, tidak perduli jika bajunya akan kotor karena tanah yang basah akibat tersiram dengan air hujan.

“Pa, Ekal gagal.” satu kalimat keluar dengan suara yang gemetar. Haekal menahan tangisnya, ia gunakan lengan kanannya untuk mengusap kedua mata yang mulai basah.

“Pa, Ekal gagal jadi kepala keluarga. Ekal gagal jadi suami yang baik buat Orelyn, Ekal gagal jadi ayah yang baik buat Rekal dan Ely, Ekal gagal buat kasih mereka kebahagiaan, Pa.”

“Ekal ingkarin semua janji Ekal ke Orelyn. Ekal bajingan, Ekal brengsek, Ekal bukan manusia, Pa. Bajingan kayak Ekal gak pantes buat hidup, Pa. Harusnya Ekal yang ada di posisi Papa, Ekal yang harusnya tertimbun tanah, Harusnya Ekal, Pa. Harusnya Ekal.”

Haekal menundukkan kepalanya. Menatap kedua kakinya dengan kedua pipi yang basah.

“Kenapa orang jahat kayak Ekal gak langsung di panggil Tuhan? Apa karena banyak yang mau liat Ekal berantakan ya, Pa? Banyak yang mau liat Ekal sengsara ya, Pa? Temen-temen Ekal, anak-anak Ekal, Orelyn, Papa Jeff. Semua mau Ekal berantakan, Pa.”

“Ekal gak tau, kalau Ekal dapetin rasa sengsara itu Ekal bakalan bertahan atau enggak. Ekal gak tau. Gak ada yang nopang Ekal, Pa. Sama sekali gak ada yang topang tangan Haekal buat lewatin semuanya.”

Tetesan air mata itu jatuh diatas lengan Haekal. Tangisan yang awalnya ia tahan sekuat tenaga, berakhir pecah dengan keras. Lelaki itu terisak, melampiaskan semua rasa sesalnya yang tidak bisa ia ungkapkan langsung kepada keluarga kecilnya.

Haekal meremas kedua lengannya, berusaha menahan tangisan yang semakin sulit untuk dia kontrol dan ia tahan. Semakin Haekal tahan, semakin banyak memori tentang keluarga kecilnya. Semakin banyak Haekal mengingat bagaimana jahatnya ia kepala keluarga kecilnya.

“Pa, kalau Haekal pergi apa masih ada yang mau antar Haekal? Ada yang mau antar bajingan ini? Gak ada kan, Pa?”

“Ekal gak pantas dapat apapun sekarang. Bahkan, hirup oksigen aja rasanya Ekal gak pantes, Pa.”

Pukul 02.03 malam. Dimana suara jangkrik telah terdengar ditengah-tengah keheningan malam. Harusnya sekarang Heksa sudah terlelap untuk beristirahat dan memimpikan sesuatu yang indah. Namun, amarah sang bunda membuat lelaki itu masih terjaga.

Heksa sedang menghitung sebuah massa dan volume dalam pelajaran fisika dengan pesan dari sang Bunda yang masih terngiang di kepalanya. Sudah 6 jam Heksa berada diatas kursi belajar dengan otak yang berputar tanpa adanya jeda.

Heksa berusaha untuk mengisi semua lembar kisi-kisi yang diberikan. Berusaha untuk mengerti materi-materi yang gurunya telah ajarkan.

Mata itu sesekali terpejam karena karena kantuk yang mulai datang. Saat kepala Heksa hampir saja menyentuh buku, ia menyadari ada sesuatu yang menetes diatas kertasnya. Heksa kembali terjaga, melihat noda merah yang berada diatas kertas yang berisi coretan tersebut.

Dengan cepat lelaki itu mengambil beberapa lembar tissue. Menyumbat lubang kanan hidungnya yang mengeluarkan darah.

“Tidur, Sa. Lo udah kelamaan belajar.” gumam Heksa kepada diri sendiri.

Heksa langsung berdiri dari duduknya. Ia langsung membaringkan tubuhnya keatas kasur tanpa membereskan kembali buku-bukunya. Mata itu langsung terpejam, kesadarannya langsung direnggut oleh rasa kantuknya.

Tanpa adanya hitungan waktu, Heksa langsung benar-benar terlelap dengan tissue yang masih tersumpal di hidungnya.

test